29.11.09

makalah balaghah "asrar al-tikrar fi al-qur'an"



أسرار تكرار فى القرآن

Makalah
Diajukan Sebagai Bahan Diskusi
Mata Pelajaran Balaghoh dan Uslubiyah


Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. T. FUAD WAHAB

Hasan Bisri
NIM. 0761387
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2008

A. Pendahuluan

Tikrar ini merupakan salah satu bidang dari balaghah yang studinya berkembang dibawa naungan studi al-Qur’an. Tikrar ini disebutkan oleh para pencela al-Qur’an, sehingga bagi orang yang mau mengadakan penolakan kepada mereka harus mempelajari uslub tikrar ini, menjelaskan rahasianya, dan menunjukan perbandingannya di dalam kalam (pembicaraan) Arab. Dan memang mereka sudah melakukannya. Dari apa yang kami lihat bahwa para pemeliti sastra dari ahli balaghah ini tidak begitu memperluas bahasan tentang tikrar seperti yang dilakukan oleh orang yang mempelajari al-Qur’an. Dalam hal ini sama saja apakah dia membahas tentang takwil musykil al-Qur’an, atau menjelaskan ‘ijaz al-Qur’an. Abdul Qahir alJurjani merupakan salah seorang yang mempelajari ‘Izaz al-Qur’an tapi dia tidak memperdalam uslub tikrar ini dan tidak juga menjelaskan rahasia-rahasianya. Hal ini disebabkan bahwa para pendahulu Abdul Qahir sudah menjelaskan uslub ini sehinga tidak perlu ada lagi tambahan. Dan biasanya Abdul Qahir tidak akan membahas yang beliau anggap sudah sempurna pembahasannya, akan tetapi dia biasanya membahas hal-hal yang belum diketahui oleh kebanyakan orang. Cara seperti ini digunakan oleh ulama-ulama yang sangat istimewa.
Diantara ulama yang banyak membahas tikrar ini adalah Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah. Dia menjelaskan berbagai macam tikrar, dan rahasianya. Kemudian menjelaskan pengulangan kisah para Nabi, menunjukan faktor pendorongnya. Dia juga menjelaskan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an secara bertahap untuk mempermudah bagi hambanya, memberikan tahapan untuk kesempurnaan agamanya, memberikan nasihat secara bertahap, memperkuat keteguhan hati melalui nasihat-nasihat yang baru, tidak mewajibkan kepada hambanya untuk menghafal al-Qur’an sekaligus, tidak mengharuskan mengkhatam al-Quran dalam satu kali pengajian. Akan tetapi Allah menurunkan al-Qur’an supaya hamba-hambanya mengetahui muhkam al-Qur’an, beriman kepada mutasyabih al-Qur’an, melaksanakan perintah yang tertera dalam al-Qur’an, menjauhi larangannya, melaksanakan shalat sesuai kemampuan, membaca al-Qur’an dalam shalat sesuai kemampuan juga. Kemudian Ibnu Qutaibah berkata; para delegasi Arab datang kepada Rasululaah SAW, untuk memeluk Islam, kemudian kaum muslimin membacakan kepada para delegasi itu sebagian dari al-Qur’an, hal itu diangap cukup bagi mereka; rasul mengutus kepada kabilah yang berbeda dengan surat-surat yang berbeda pula, sehinga seandainya kisah-kisah dan berita-berita dalam al-qur’an tidak diulang (tikrar) maka pasti kisah Musa akan sampai kepada satu kaum saja , begitu juga dengan kisah Isa, kisah Nuh, kisah Nabu Luth. Allah dengan kamaha lembutan dan rahmat-Nya menghendaki untuk membuat kisah-kisah tersebut terkenal diberbagai penjuru bumi, dan menghendaki banyak didengar oleh orang-orang sehinga menjadi peringatan dan menambah pemahaman bagi para pendengarnya.
Ibnu Qutaibah juga menyebutkan repetisi (tikrar) dalam pembicaraan yang sejenis seperti terdapat dalam surat al-Kafirun. Dalam hal ini dia menjelaskan “ seperti yang sudah beritahukan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan menurut cara berfikir (madzhab) mereka. Sedangkan diantara cara berfikir mereka adalah “Tikrar”, dengan tujuan penguatan dan memberikan pemahaman yang lebih mendalam. Seperti juga kebiasan mereka adala “ikhtishar” (meringkas) dengan tujuan memperingan dan memperpendek ungkapan. Karena variasi seorang yang berbicara (khatib) akan lebih baik daripada dia monoton dalam mengunakan satu cara dalam pengungkapan.
Tiada bacaan sebanyak kosa kata al-qur’an yang berjumlan 77.439 kata, dengan jumlah huruf 323015 huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.
Sebagai contoh, kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali; akhirat terulang115 kali sebanyak kata dunia; malaikat terulang 88 kali sebanyak kata syaitan; thuma’ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata dhiyq (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.
Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir sama dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12 kali; zakat sama dengan berkat yakni kebajikan melimpah, masing-masing 32 Kali. Masih amat banyak keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari) sebanyak 365, sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun, dan sebagainya. Semua ini didalam ilmu balagah disebut at-Tikrar/repetisi/refrain.

B. Pengertian Tikrar
At-Tikrar adalah;

التكرار هو ذكر الشي مرتين او اكثر
Artinya; ‘menyebutkan sesuatu (ungkapan) dua kali atau lebih”

Adapun tujuan-tujuan dari at-tikrar adalah untuk menguatkan dan meyakinkan makna dalam jiwa orang, mengulang karena satu tujuan sperti panjangnya pemisah, untuk tujuan penguasaan, menambah anjuran, senang dan memaafkan, menganjurkan untuk menerima nasihat dengan maksud untuk menarik minat pendengar pada waktu menerima pesan, mengagungkan di hadapan pendengar, dan lain sebagainya.


C. Macam-macam tikrar dalam al-Qur’an

1. pengulangan bunyi huruf yang sama, seperti pengulangan huruf ra dan ha
Firman Allah dalam al-Qur’an;
كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ بِالنُّذُرِ (33) إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ حَاصِبًا إِلَّا آَلَ لُوطٍ نَجَّيْنَاهُمْ بِسَحَرٍ (34) نِعْمَةً مِنْ عِنْدِنَا كَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ شَكَرَ (35) وَلَقَدْ أَنْذَرَهُمْ بَطْشَتَنَا فَتَمَارَوْا بِالنُّذُرِ (36) وَلَقَدْ رَاوَدُوهُ عَنْ ضَيْفِهِ فَطَمَسْنَا أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا عَذَابِي وَنُذُرِ (37) وَلَقَدْ صَبَّحَهُمْ بُكْرَةً عَذَابٌ مُسْتَقِرٌّ (38) فَذُوقُوا عَذَابِي وَنُذُرِ (39) وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ (40) وَلَقَدْ جَاءَ آَلَ فِرْعَوْنَ النُّذُرُ (41)
Artinya: “(33) Kaum luthpun telah mendustakan ancaman-ancaman (nabinya) (34) Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka). Kecuaali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing (35) Sebagai ni’mat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (36) Dan sesungguhnya dia (Luth) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu (37) Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku (38) Dan sesungguhnya pada esok harinya mereka ditimpa azab yang kekal (39) Maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku (40) Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (41) Dan sesungguhnya tlah dating kepada Fir’aun ancaman-ancaman. (Q.S al-Qamar: 33-41).





Firman Allah yang lain;
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا (1) إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا (2) إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (3)إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا (4) إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (5) عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (6) يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (7) وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا (8) إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا (9) إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا (10) فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا (11) وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا (12) مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ لَا يَرَوْنَ فِيهَا شَمْسًا وَلَا زَمْهَرِيرًا (13)
Artinya: (1) Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (2) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat (3) Sesungghnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (4) Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala (5) Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (6) (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya (7) Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana (8) Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan (9) Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah mengharapkan keridohan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih (10) Sesungguhnya Kami takut akan azab suatu hari yang (di hari itu orang yang bermuka) masam, penuh kesulitan ( yang) datang dari Tuhan kami (11) Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati (12) Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera (13) di dalamnya mereka duduk bertelakan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan.” (Q.S. al-Insan: 1-13)

Pengulangan dengan huruf ha. Seperti dalam firman Allah;
قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ (17) مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ (18) مِنْ نُطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ (19) ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ (20) ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ (21) ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ (22) كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ (23)
Artinya; “(17) Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? (18) Dari apakah Allah menciptakannya? (19) Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya (20) Kemudian dia memudahkan jalannya (21) Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya dalam kubur (22) kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitnya kembali (23) Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang dipeerintahkan Allah kepadanya.” (Q.S ‘abasa; 17-23)
Dan firman Allah;
(10) كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَاهَا (11) إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا (12) فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ نَاقَةَ اللَّهِ وَسُقْيَاهَا (13) فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا (14) وَلَا يَخَافُ عُقْبَاهَا (15)
Artinya; “(11) (kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas (12)ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka (13) lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya (14) Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka. Lalu Allah menyamaratakan mereka (dengan tanah) (15) dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.”(Q.S al-Syams: 11-15).

2. pengulangan bunyi lafal, seperti pengulangan lafal al-Thaariq, kaidaa, dakkaa, soffaa, ahad, dan ‘aqabah pada surah al-Thaariq (86:1-2,15-16
وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ (2) إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا (15) وَأَكِيدُ كَيْدًا (16)
Artinya; “(1) Demi langit dan yang dating pada malam hari (2) tahukah kamu apa yang datang pada malam har tiu? (15) Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya (16) Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.” (Q.S. al-Thariq: 1-2, 15-16).

كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا (21) وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (22) فَيَوْمَئِذٍ لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ (25) وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ (26)
Artinya: “(21) Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut (22) dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris (23) dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya (24) Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini (25) Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya (26) dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya.” (Q.S. al-Fajr :89:21-22, 25-26)


فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ (11) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12)
Artinya;“(11) Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar (12) Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (Q.S al-Balad: 11-12).

3. pengulangan bunyi lafal yang berhampiran, seperti pengulangan bunyi tumisat, furijat, nufisat, uqqitat, ujjilat, gharqaa, nasytaa, sabhaa, sabqaa, amraa, raajifah, raadifah, waajifah, khaasyi’ah, haarifah, suyyirat, uttilat, sujjirat, dan zuwwijat pada surat an-Naazi’aat (79:1-5,6-10),
وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا (1) وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا (2) وَالسَّابِحَاتِ سَبْحًا (3) فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا (4) فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا (5) يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ (6) تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ (7) قُلُوبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ (8) أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ (9) يَقُولُونَ أَئِنَّا لَمَرْدُودُونَ فِي الْحَافِرَةِ (10)
Artinya: “(1) Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras (2) dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut (3) dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat (4) dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang (5) dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia) (6) (Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncang alam (7) tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan ke dua (8) Hati manusia pada waktu itu sangat takut (9)pandangannya tunduk (10) (Orang-orang kafir) berkata: “Apakah kami benar-benar akan dikembalikan pada kehidupan yang semula?.”(Q.S. an-Naziat; 1-5, 6-10)



Firman Allah yang lain;
وَإِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ (3) وَإِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ (4) وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ (5) وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ (6) وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ (7) وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9) وَإِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ (10) وَإِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ (11) وَإِذَا الْجَحِيمُ سُعِّرَتْ (12)
Artinya;“(3) Dan apabila gunung-gunung dihancurkan (4) dan apabila unta-unta bunting ditinggalkan (tidak dipedulikan) (5) dan apabila binatang-binatang liar ditinggalkan (6) dan apabila lautan dijadikan meluap (7) dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh) (8) apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (9) karena dosa apakah dia dibunuh (10) daan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka (11) dan apabila langit dilenyapkan (12) dan apabila neraka jahim dinyalakan.” (Q.S at-takwir; 3-12)

4. Pengulangan Ayat
Seperti dalam firman Allah dalam al-qur’an;
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Artinya:1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah.4. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S al-Kafirun)

Maksud dari pengulangan ayat di atas adalah sebagaimana disebutkan dalam pendahuluan di atas. Adapun tikrar dalam ayat فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (13)
(surat ar-rahman:13) artinya: “maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan” merupakan penghitungan nikmat-nikmat Allah, mengingatkan hamba-hamba Allah kepada nikmatnya, memberitahukan mereka kekuasaan-Nya, dan kelembutan-Nya kemudian diakhiri dengan menyebutkan ayat tersebut. Hal ini disebutkan diantara dua nikmat untuk memberikan pemahaman yang mendalam terhadap nikmat itu dan memantapkannya di hati. Hal ini juga terjadi dalam surat al-Qamr, yaitu فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ (17)
yang artinya: “apakah ada yang mendapatkan ‘Itibar dan nasihat?”
Ibnu Qutaibah juga menyebutkan tikrar yang mengunakan dua lafadz yang berbeda, hal ini ditujukan untuk pemantapan arti dan perluasan bahasa seperti contoh “saya menyuruhmu untuk menempati janji dan melarangmu dari berkhianat”, perintah menempati janji sebetulnya melarang dari khianat. Contoh lain; “saya menyuruhmu untuk sillaturrahim dan melarangmu dari memutuskan silaturrahmi”.hal ini seperi firman Allah dalam surat ar-Rahman ayat 68 فِيهِمَا فَاكِهَةٌ وَنَخْلٌ وَرُمَّانٌ (68) artinya; “didalam dua surga itu ada buah-buahan, kurma dan delima.” Padahal kurma dan delima itu bagian dari buah-buahan, keduanya disebutkan karena punya keungulan dan ketepatan posisi nadhom.
Qadi Abdul Jabbar mempelajari tikrar ini dan mempertahankan kebalghahannya. Dia menyebutkan bahwa gurunya, Abu Ali telah banyak membahas tikrar ini pada muqaddimah tafsir. Dia menyebutkan bahwa merupakan suatu kebiasaan bagi orang-orang fasih (dalam berbicara) untuk mengulang-ngulang satu kisah di dalam tempat yang berbeda dengan lafadz yang berbeda untuk tujuan yang berbeda pula sesuai situsi dan kondisi, hal ini merupakan suatu keutamaan bukan merupakan kecacatan dalam pembicaraan (kalam).
Adapun tikrar dalam surat ar-rahman menurut qhadi Abdul Jabbar sebagaimana yang diriwayatkannya dari gurunya Abi Ali bahwa didalam surat ini tidak ada tikrar dengan alasan perbedaan tujuan pada setiap kali pengucapan masing-masing ayat. Dan Pendapat ini akan kita temukan pada Imam Az-Zamakhsary. Qadhi Abdul Jabbar berkata, Abu Ali berkata; Adapun yang terdapat pada surat ar-rahman pada firman Allah فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ bukanlah merupakan tikrar karena Allah menyebutkan bermacam-macam nikmat dan menyambungkan setiap nikmat dengan ucapan tersebut, jadi sepertinya Allah berfirman فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ :, artinya; kepada nikmat yang sudah saya sebutkankan tadi yang mana kalian berdua (jin dan manusia) mendustakan? . Kemudian bentuk khitab ini berjalan dalam surat tersebut setiap menyebutkan nikmat walaupun dari segi bentuk lafadznya memang persis sama. Hal ini seperti perkataan seseorang kepada orang yang akan membunuh dengan ucapan “apakah engkau akan membunuh jaid padahal engkau tahu keutamaanya? Apakah engaku akan membunuh Umar padahal engkau tahu keshalihannya? Dan itu diulang-ulang, hal ini tidak diangap suatu kecacatan (kejelekan) tetapi merupakan keistimewaan. Dan seandainya seseorang yang sudah begitu baik kepada anaknya kemudian dia melihat anaknya durhaka kepadanya dan berkata: apakah engkau memarahiku dalam urusan ini…., padahal aku telah berbuat baik kepadamu? Dan ucapan itu diulang-ulang ini lebih balig, karena tanpa pengulangan maka pengaruhnya juga akan berkurang.
Begitu juga yang terdapat pada surat al-Mursalat dalam pengulangan ayat” wailu yaumaindin lilmukadzibiin”, menurut Abdul Jabbar seperti yang dirawayatkan dari gurunya, Abu Ali hal itu bukan tikrar, karena “wailul yama idzin lil mukadzibin” yang pertama berbeda dalam peninjikan kisah walaupun dengan ungkapan yang sama. Hal ini seperti seseorang yang sudah membunuh bayak sekelompok orang kenudian ada orang yang menegur kepadanya dengan ucapan” wailul yaumaidzil liman qatala zaidan…, liman qatala amran” artinya; kecelakaan pada hari itu bagi orang yang membunuh zaid…bagi orang yang membunuh Umar” kenudian ungkapannya sama seperti ini dan ini bukanlah suatu tikrar.

5. Pengulangan Kisah Dalam Al-Qur’an

Kisah dalam Al-Qur’an banyak diulang-ulang, hingga beberapa puluh kali. Kisah Nabi Musa dan umatnya, disebutkan hampir 126 kali. Kisah nabi Adam disebutkan dalam surat al-Baqarah, surat al-Maidah dll. Kisah Nabi Isma’il disebut sampai 12 kali, kisah Nabi Daud disebut 16 kali dan kisah-kisah lainnya. Kisah-kisah tersebut, kendati diulang-ulang, namun dikemukakan dalam bentuk kalimat yang berbeda-beda; terkadang singkat, sedang, bahkan secara panjang lebar. (ulumul qur’an, hal 249: pengantar pak Afif)
Al-Qur’an banyak mengandung kisah-kisah yang diungkapkan secara berulang-ulang kali di beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Di satu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang di tempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar, dsb. Diantara hikmahnya ialah:

1) Menjelaskan ke-balaghah-an Al-Qur’an dalam tingkat paling tinggi. Sebab diantara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan di saat membacanya di tempat lain
.
2) Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Qur’an. Sebab mengemukakan suatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat dimana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah.

3) memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih berkesan dan melekat dalam jiwa. Karena itu pada dasarnya pengulangan merupakan salah satu pemantapan nilai. Misalnya kisah Nabi Musa dengan Fir’aun. Kisah ini menggambarkan secara sempurna pergulatan sengit antara kebenaran dengan kebatilan. Dan sekalipun kisah itu sering diulang-ulang, tetapi pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuah surat.

4) Setiap kisah mempunyai maksud dan tujuan berbeda. Karena itulah kisah-kisah itu diungkapkan. Maka sebagian makna-maknanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna lainnya dikemukakan di tempat lain, sesuai dengan tuntutan keadaan. (ulumul qur’an, hal 249: pengantar pak Afif)

Qhadi abu Bakar bin At-Thayib mengatakan bahwa tikrar kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan salah satu bentuk dari tantangan balaghiah yang menunjukan kepadea kemukjizatan al-Qur’an dalam penempatan kata-kata sesuai posisinya dan pemaparan ayat-ayat yang banyak yang menunjukan kepada unsure balaghah yang tinggi. Qadhi Abu Bakar at-Thayib mengajak kita untuk melihat datu surat yang utuh dan mengenali kisahnya kemudian dia memaparkan surat an-Naml dan berkata; Allah memulai surat ini dengan menjelaskan bahwa al-qur’an itu dari sisi-Nya, dengan firman-Nya “wainnaka latalaqal Qur’ana minladun hakimin aliim” (an-Naml:6). Kemudian menyambungkan ayat itu dengan kisah Musa AS ketika dia melihat api dan berkata kepada keluarganya; “inni anastu naaran saatikum minha bikhabarin au aatiikum bisihabin qabasin la’aluk tasqaluun” (an-Naml:7). Kemudian dalam surat thaha:10 masih dalam kisah ini, Allah berfirman;” la’alii aatikum minha biqabasin au ajidu ‘ala naari hudan” dalam ayat lain Allah berfirman;” la’alii aatiikum minha bikhabarin au jadwatin minan naari la’alkum tasthaluun” (al-Qhasas:29). Allah menyebutkan berbagai bentuk ungkapan untuk satu kisah, hal ini untuk menunjukan kemukjizatan al-Qur’an sehingga Allah berfirman :”falyatuu bihadiisin mitslihi”, untuk lebih menyatakan kelemahan makhluknya dan memberikan hujjah yang lebih jelas kepada mereka.

D. Bentuk-bentuk lafazh tikrar dalam al-Qur’an

Penyebutan Kata Benda (Isim/ إسم) Dua Kali (pengantar studi ilmu al-qur’an, hal.247)
Pengulangan dua kali isim/إسم memiliki empat kemungkinan;
(1)Keduanya معرفة, (2) Keduanya نكرة, (3) Yang pertama معرفة sedang yang kedua نكرة, (4) Yang pertama نكرة sedang yang kedua معرفة ..
1- Jika kedua-duanya, معرفة maka pada umumnya yang isim kedua adalah yang pertama. Seperti dalam surat Al-Fatihah ayat 6-7:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

Artinya: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
وَجَعَلُوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَبًا وَلَقَدْ عَلِمَتِ الْجِنَّةُ إِنَّهُمْ لَمُحْضَرُونَ (158)
Artinya: “158. Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. dan Sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka ).”


2- Sebaliknya, jika kedua-duanya نكرة, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya dalam surat Ar-Rum ayat 54:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ (54)

Artinya: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kenudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa.”.

Yang dimaksud ضعف (kelemahan) pertama adalah sperma,ضعف kedua طفولية (masa bayi), sedang ضعف ketiga adalah شيخوخة (orang tua atau lanjut usia). Kedua macam ini ada pada surat Al-Insyirah ayat 5-6:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)
Artinya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.

Dalam satu riwayat, Ibnu Abbas mengomentari ayat ini, “Satu” عسر (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua يسر (kemudahan). Karena kata عسر yang kedua diulangi dengan "ال"معرفة , maka عسر itu adalah عسر yang pertama. Adapun kata يسر yang ke dua bukan يسر yang pertama karena ia diulangi tanpa "ال" .
3- Jika yang pertama نكرة dan yang kedua معرفة maka yang kedua itu adalah yang pertama, karena sudah diketahui. Misalnya dalam ayat Al-muzzammil ayat 15-16:
إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا (15) فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا (16)
Dalam ayat lain, Allah SWT ber-Firman:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (35)
Artinya: “(35) Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nur: 35)


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang Rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir’aun”.

4- Jika yang pertama معرفة sedang yang kedua نكرة , maka tergantung qarinahnya. (indikasi) itu menunjukkan bahwa keduanya berbeda, seperti dalam surat Ar-rum ayat 55:
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ (55)
.
Artinya: “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa: “mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)”. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)”.
Terkadang qarinah itu menunjukkan bahwa keduanya sama, seperti dalam surat Az-Zumar ayat 27-28:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآَنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (27) قُرْآَنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (28)
Artinya: “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur’an ini setiap manusia perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (Ialah) Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa”.


E. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan أسرارالتكرار فى القرآن adalah berupa penafsiran-penafsiran ayat dalam Al-Qur’an yang terdapat pengulangan. Pengulangan tersebut ada yang berupa:

1. pengulangan bunyi huruf yang sama, seperti pengulangan huruf ra dan ha.
2. pengulangan bunyi lafal, seperti pengulangan lafal al-Thaariq, kaidaa, dakkaa, soffaa, ahad, dan ‘aqabah.
3. pengulangan bunyi lafal yang berhampiran, seperti pengulangan bunyi tumisat, furijat, nufisat, uqqitat, ujjilat, gharqaa, nasytaa, sabhaa, sabqaa, amraa, raajifah, raadifah, waajifah, khaasyi’ah, haarifah, suyyirat, uttilat, sujjirat, dan zuwwijat pada surat an-Naazi’aat (79:1-5,6-10).
4. Pengulangan Ayat, seperti ayat dalam surat ar-Rahman dan surat al-Kafirun.
5. Pengulangan kisah-kisah para nabi.

Pengulangan-pengulangan ayat al-Qur’an tersebut bukan merupakan cacat atau kekurangan, karena pengulangan itu mempunyai maksud dan tujuan tersendiri, bahkan hal itu menjadikan ayat-ayat al-Qur’an menjadi sangat indah, puitis, dan romantis, sehingga tidak membosankan untuk dibaca, didengar, dan dikaji makna yang tersurat dan tersirat di dalamnya.


































ّّّّّالمرجع الأجنبى

Mamat Zaenuddin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah (Bandung: PT Refika Aditama. 2007), cet. Ke-1.
Wahab Muhsin dan T. Fuad Wahab, Pokok-Pokok Ilmu Balaghah (Bandung: Angkasa. 1986), cet. Ke-2.
Ali Al-Jarim dan Musthafa Usman, Terjemahan Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1993) cet. Ke-1.
Gorys Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2005) cet. Ke-15.
Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), cet. Ke-1
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006) cet. Ke-1
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. Ke-
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir ( Bandung: Pustaka Setia, 2005), cet. Ke-
Deni Hamdani Firdaus, Kamus Al-Qur’an (Purwakarta: Pustaka Ancala, 2007), cet. Ke-1



المرجع العربى

محمدمحمدأبوموسى, البلاغة القرآنية فى تفسيرالزمخشرى وأثرها فى الدراسات البلاغية (القاهرة: مكتبة وهبة, )
محمد عبد المطلب, البلاغة والأسلوبية (القاهرة: الشركة المصرية العالمية للنشر- لونجمان, 1994) الطبعة الأولى
على الجارم ومصطفى أمين, البلاغة الواضحة (جاكرتا: مكتبة الروضة,2007) الطبعة الأولى
وهبة الزحيلي, تفسيرالمنير (بيروت: دارالفكر, 1991) الطبعة الأولى
عبدالله محمد بن احمدالانصارى القرطبى, الجامع الاحكام القرآن ,الجزالسابع عشر