29.11.09

makalah balaghah "asrar al-tikrar fi al-qur'an"



أسرار تكرار فى القرآن

Makalah
Diajukan Sebagai Bahan Diskusi
Mata Pelajaran Balaghoh dan Uslubiyah


Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. T. FUAD WAHAB

Hasan Bisri
NIM. 0761387
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2008

A. Pendahuluan

Tikrar ini merupakan salah satu bidang dari balaghah yang studinya berkembang dibawa naungan studi al-Qur’an. Tikrar ini disebutkan oleh para pencela al-Qur’an, sehingga bagi orang yang mau mengadakan penolakan kepada mereka harus mempelajari uslub tikrar ini, menjelaskan rahasianya, dan menunjukan perbandingannya di dalam kalam (pembicaraan) Arab. Dan memang mereka sudah melakukannya. Dari apa yang kami lihat bahwa para pemeliti sastra dari ahli balaghah ini tidak begitu memperluas bahasan tentang tikrar seperti yang dilakukan oleh orang yang mempelajari al-Qur’an. Dalam hal ini sama saja apakah dia membahas tentang takwil musykil al-Qur’an, atau menjelaskan ‘ijaz al-Qur’an. Abdul Qahir alJurjani merupakan salah seorang yang mempelajari ‘Izaz al-Qur’an tapi dia tidak memperdalam uslub tikrar ini dan tidak juga menjelaskan rahasia-rahasianya. Hal ini disebabkan bahwa para pendahulu Abdul Qahir sudah menjelaskan uslub ini sehinga tidak perlu ada lagi tambahan. Dan biasanya Abdul Qahir tidak akan membahas yang beliau anggap sudah sempurna pembahasannya, akan tetapi dia biasanya membahas hal-hal yang belum diketahui oleh kebanyakan orang. Cara seperti ini digunakan oleh ulama-ulama yang sangat istimewa.
Diantara ulama yang banyak membahas tikrar ini adalah Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah. Dia menjelaskan berbagai macam tikrar, dan rahasianya. Kemudian menjelaskan pengulangan kisah para Nabi, menunjukan faktor pendorongnya. Dia juga menjelaskan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an secara bertahap untuk mempermudah bagi hambanya, memberikan tahapan untuk kesempurnaan agamanya, memberikan nasihat secara bertahap, memperkuat keteguhan hati melalui nasihat-nasihat yang baru, tidak mewajibkan kepada hambanya untuk menghafal al-Qur’an sekaligus, tidak mengharuskan mengkhatam al-Quran dalam satu kali pengajian. Akan tetapi Allah menurunkan al-Qur’an supaya hamba-hambanya mengetahui muhkam al-Qur’an, beriman kepada mutasyabih al-Qur’an, melaksanakan perintah yang tertera dalam al-Qur’an, menjauhi larangannya, melaksanakan shalat sesuai kemampuan, membaca al-Qur’an dalam shalat sesuai kemampuan juga. Kemudian Ibnu Qutaibah berkata; para delegasi Arab datang kepada Rasululaah SAW, untuk memeluk Islam, kemudian kaum muslimin membacakan kepada para delegasi itu sebagian dari al-Qur’an, hal itu diangap cukup bagi mereka; rasul mengutus kepada kabilah yang berbeda dengan surat-surat yang berbeda pula, sehinga seandainya kisah-kisah dan berita-berita dalam al-qur’an tidak diulang (tikrar) maka pasti kisah Musa akan sampai kepada satu kaum saja , begitu juga dengan kisah Isa, kisah Nuh, kisah Nabu Luth. Allah dengan kamaha lembutan dan rahmat-Nya menghendaki untuk membuat kisah-kisah tersebut terkenal diberbagai penjuru bumi, dan menghendaki banyak didengar oleh orang-orang sehinga menjadi peringatan dan menambah pemahaman bagi para pendengarnya.
Ibnu Qutaibah juga menyebutkan repetisi (tikrar) dalam pembicaraan yang sejenis seperti terdapat dalam surat al-Kafirun. Dalam hal ini dia menjelaskan “ seperti yang sudah beritahukan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan menurut cara berfikir (madzhab) mereka. Sedangkan diantara cara berfikir mereka adalah “Tikrar”, dengan tujuan penguatan dan memberikan pemahaman yang lebih mendalam. Seperti juga kebiasan mereka adala “ikhtishar” (meringkas) dengan tujuan memperingan dan memperpendek ungkapan. Karena variasi seorang yang berbicara (khatib) akan lebih baik daripada dia monoton dalam mengunakan satu cara dalam pengungkapan.
Tiada bacaan sebanyak kosa kata al-qur’an yang berjumlan 77.439 kata, dengan jumlah huruf 323015 huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.
Sebagai contoh, kata hayat terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali; akhirat terulang115 kali sebanyak kata dunia; malaikat terulang 88 kali sebanyak kata syaitan; thuma’ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata dhiyq (kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.
Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir sama dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12 kali; zakat sama dengan berkat yakni kebajikan melimpah, masing-masing 32 Kali. Masih amat banyak keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari) sebanyak 365, sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun, dan sebagainya. Semua ini didalam ilmu balagah disebut at-Tikrar/repetisi/refrain.

B. Pengertian Tikrar
At-Tikrar adalah;

التكرار هو ذكر الشي مرتين او اكثر
Artinya; ‘menyebutkan sesuatu (ungkapan) dua kali atau lebih”

Adapun tujuan-tujuan dari at-tikrar adalah untuk menguatkan dan meyakinkan makna dalam jiwa orang, mengulang karena satu tujuan sperti panjangnya pemisah, untuk tujuan penguasaan, menambah anjuran, senang dan memaafkan, menganjurkan untuk menerima nasihat dengan maksud untuk menarik minat pendengar pada waktu menerima pesan, mengagungkan di hadapan pendengar, dan lain sebagainya.


C. Macam-macam tikrar dalam al-Qur’an

1. pengulangan bunyi huruf yang sama, seperti pengulangan huruf ra dan ha
Firman Allah dalam al-Qur’an;
كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ بِالنُّذُرِ (33) إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ حَاصِبًا إِلَّا آَلَ لُوطٍ نَجَّيْنَاهُمْ بِسَحَرٍ (34) نِعْمَةً مِنْ عِنْدِنَا كَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ شَكَرَ (35) وَلَقَدْ أَنْذَرَهُمْ بَطْشَتَنَا فَتَمَارَوْا بِالنُّذُرِ (36) وَلَقَدْ رَاوَدُوهُ عَنْ ضَيْفِهِ فَطَمَسْنَا أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا عَذَابِي وَنُذُرِ (37) وَلَقَدْ صَبَّحَهُمْ بُكْرَةً عَذَابٌ مُسْتَقِرٌّ (38) فَذُوقُوا عَذَابِي وَنُذُرِ (39) وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ (40) وَلَقَدْ جَاءَ آَلَ فِرْعَوْنَ النُّذُرُ (41)
Artinya: “(33) Kaum luthpun telah mendustakan ancaman-ancaman (nabinya) (34) Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka). Kecuaali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing (35) Sebagai ni’mat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (36) Dan sesungguhnya dia (Luth) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu (37) Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku (38) Dan sesungguhnya pada esok harinya mereka ditimpa azab yang kekal (39) Maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku (40) Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (41) Dan sesungguhnya tlah dating kepada Fir’aun ancaman-ancaman. (Q.S al-Qamar: 33-41).





Firman Allah yang lain;
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا (1) إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا (2) إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (3)إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا (4) إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (5) عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (6) يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (7) وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا (8) إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا (9) إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا (10) فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا (11) وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا (12) مُتَّكِئِينَ فِيهَا عَلَى الْأَرَائِكِ لَا يَرَوْنَ فِيهَا شَمْسًا وَلَا زَمْهَرِيرًا (13)
Artinya: (1) Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (2) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat (3) Sesungghnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (4) Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala (5) Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (6) (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya (7) Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana (8) Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan (9) Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah mengharapkan keridohan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih (10) Sesungguhnya Kami takut akan azab suatu hari yang (di hari itu orang yang bermuka) masam, penuh kesulitan ( yang) datang dari Tuhan kami (11) Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati (12) Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera (13) di dalamnya mereka duduk bertelakan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan.” (Q.S. al-Insan: 1-13)

Pengulangan dengan huruf ha. Seperti dalam firman Allah;
قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ (17) مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ (18) مِنْ نُطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ (19) ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ (20) ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ (21) ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ (22) كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ (23)
Artinya; “(17) Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? (18) Dari apakah Allah menciptakannya? (19) Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya (20) Kemudian dia memudahkan jalannya (21) Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya dalam kubur (22) kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitnya kembali (23) Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang dipeerintahkan Allah kepadanya.” (Q.S ‘abasa; 17-23)
Dan firman Allah;
(10) كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَاهَا (11) إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا (12) فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ نَاقَةَ اللَّهِ وَسُقْيَاهَا (13) فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا (14) وَلَا يَخَافُ عُقْبَاهَا (15)
Artinya; “(11) (kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas (12)ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka (13) lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya (14) Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka. Lalu Allah menyamaratakan mereka (dengan tanah) (15) dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.”(Q.S al-Syams: 11-15).

2. pengulangan bunyi lafal, seperti pengulangan lafal al-Thaariq, kaidaa, dakkaa, soffaa, ahad, dan ‘aqabah pada surah al-Thaariq (86:1-2,15-16
وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ (2) إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا (15) وَأَكِيدُ كَيْدًا (16)
Artinya; “(1) Demi langit dan yang dating pada malam hari (2) tahukah kamu apa yang datang pada malam har tiu? (15) Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya (16) Dan Akupun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.” (Q.S. al-Thariq: 1-2, 15-16).

كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا (21) وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (22) فَيَوْمَئِذٍ لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ (25) وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ (26)
Artinya: “(21) Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut (22) dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris (23) dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya (24) Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini (25) Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya (26) dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya.” (Q.S. al-Fajr :89:21-22, 25-26)


فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ (11) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12)
Artinya;“(11) Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar (12) Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (Q.S al-Balad: 11-12).

3. pengulangan bunyi lafal yang berhampiran, seperti pengulangan bunyi tumisat, furijat, nufisat, uqqitat, ujjilat, gharqaa, nasytaa, sabhaa, sabqaa, amraa, raajifah, raadifah, waajifah, khaasyi’ah, haarifah, suyyirat, uttilat, sujjirat, dan zuwwijat pada surat an-Naazi’aat (79:1-5,6-10),
وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا (1) وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا (2) وَالسَّابِحَاتِ سَبْحًا (3) فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا (4) فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا (5) يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ (6) تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ (7) قُلُوبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ (8) أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ (9) يَقُولُونَ أَئِنَّا لَمَرْدُودُونَ فِي الْحَافِرَةِ (10)
Artinya: “(1) Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras (2) dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut (3) dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat (4) dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang (5) dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia) (6) (Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncang alam (7) tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan ke dua (8) Hati manusia pada waktu itu sangat takut (9)pandangannya tunduk (10) (Orang-orang kafir) berkata: “Apakah kami benar-benar akan dikembalikan pada kehidupan yang semula?.”(Q.S. an-Naziat; 1-5, 6-10)



Firman Allah yang lain;
وَإِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ (3) وَإِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ (4) وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ (5) وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ (6) وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ (7) وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9) وَإِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ (10) وَإِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ (11) وَإِذَا الْجَحِيمُ سُعِّرَتْ (12)
Artinya;“(3) Dan apabila gunung-gunung dihancurkan (4) dan apabila unta-unta bunting ditinggalkan (tidak dipedulikan) (5) dan apabila binatang-binatang liar ditinggalkan (6) dan apabila lautan dijadikan meluap (7) dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh) (8) apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (9) karena dosa apakah dia dibunuh (10) daan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka (11) dan apabila langit dilenyapkan (12) dan apabila neraka jahim dinyalakan.” (Q.S at-takwir; 3-12)

4. Pengulangan Ayat
Seperti dalam firman Allah dalam al-qur’an;
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Artinya:1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah.4. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S al-Kafirun)

Maksud dari pengulangan ayat di atas adalah sebagaimana disebutkan dalam pendahuluan di atas. Adapun tikrar dalam ayat فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (13)
(surat ar-rahman:13) artinya: “maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan” merupakan penghitungan nikmat-nikmat Allah, mengingatkan hamba-hamba Allah kepada nikmatnya, memberitahukan mereka kekuasaan-Nya, dan kelembutan-Nya kemudian diakhiri dengan menyebutkan ayat tersebut. Hal ini disebutkan diantara dua nikmat untuk memberikan pemahaman yang mendalam terhadap nikmat itu dan memantapkannya di hati. Hal ini juga terjadi dalam surat al-Qamr, yaitu فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ (17)
yang artinya: “apakah ada yang mendapatkan ‘Itibar dan nasihat?”
Ibnu Qutaibah juga menyebutkan tikrar yang mengunakan dua lafadz yang berbeda, hal ini ditujukan untuk pemantapan arti dan perluasan bahasa seperti contoh “saya menyuruhmu untuk menempati janji dan melarangmu dari berkhianat”, perintah menempati janji sebetulnya melarang dari khianat. Contoh lain; “saya menyuruhmu untuk sillaturrahim dan melarangmu dari memutuskan silaturrahmi”.hal ini seperi firman Allah dalam surat ar-Rahman ayat 68 فِيهِمَا فَاكِهَةٌ وَنَخْلٌ وَرُمَّانٌ (68) artinya; “didalam dua surga itu ada buah-buahan, kurma dan delima.” Padahal kurma dan delima itu bagian dari buah-buahan, keduanya disebutkan karena punya keungulan dan ketepatan posisi nadhom.
Qadi Abdul Jabbar mempelajari tikrar ini dan mempertahankan kebalghahannya. Dia menyebutkan bahwa gurunya, Abu Ali telah banyak membahas tikrar ini pada muqaddimah tafsir. Dia menyebutkan bahwa merupakan suatu kebiasaan bagi orang-orang fasih (dalam berbicara) untuk mengulang-ngulang satu kisah di dalam tempat yang berbeda dengan lafadz yang berbeda untuk tujuan yang berbeda pula sesuai situsi dan kondisi, hal ini merupakan suatu keutamaan bukan merupakan kecacatan dalam pembicaraan (kalam).
Adapun tikrar dalam surat ar-rahman menurut qhadi Abdul Jabbar sebagaimana yang diriwayatkannya dari gurunya Abi Ali bahwa didalam surat ini tidak ada tikrar dengan alasan perbedaan tujuan pada setiap kali pengucapan masing-masing ayat. Dan Pendapat ini akan kita temukan pada Imam Az-Zamakhsary. Qadhi Abdul Jabbar berkata, Abu Ali berkata; Adapun yang terdapat pada surat ar-rahman pada firman Allah فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ bukanlah merupakan tikrar karena Allah menyebutkan bermacam-macam nikmat dan menyambungkan setiap nikmat dengan ucapan tersebut, jadi sepertinya Allah berfirman فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ :, artinya; kepada nikmat yang sudah saya sebutkankan tadi yang mana kalian berdua (jin dan manusia) mendustakan? . Kemudian bentuk khitab ini berjalan dalam surat tersebut setiap menyebutkan nikmat walaupun dari segi bentuk lafadznya memang persis sama. Hal ini seperti perkataan seseorang kepada orang yang akan membunuh dengan ucapan “apakah engkau akan membunuh jaid padahal engkau tahu keutamaanya? Apakah engaku akan membunuh Umar padahal engkau tahu keshalihannya? Dan itu diulang-ulang, hal ini tidak diangap suatu kecacatan (kejelekan) tetapi merupakan keistimewaan. Dan seandainya seseorang yang sudah begitu baik kepada anaknya kemudian dia melihat anaknya durhaka kepadanya dan berkata: apakah engkau memarahiku dalam urusan ini…., padahal aku telah berbuat baik kepadamu? Dan ucapan itu diulang-ulang ini lebih balig, karena tanpa pengulangan maka pengaruhnya juga akan berkurang.
Begitu juga yang terdapat pada surat al-Mursalat dalam pengulangan ayat” wailu yaumaindin lilmukadzibiin”, menurut Abdul Jabbar seperti yang dirawayatkan dari gurunya, Abu Ali hal itu bukan tikrar, karena “wailul yama idzin lil mukadzibin” yang pertama berbeda dalam peninjikan kisah walaupun dengan ungkapan yang sama. Hal ini seperti seseorang yang sudah membunuh bayak sekelompok orang kenudian ada orang yang menegur kepadanya dengan ucapan” wailul yaumaidzil liman qatala zaidan…, liman qatala amran” artinya; kecelakaan pada hari itu bagi orang yang membunuh zaid…bagi orang yang membunuh Umar” kenudian ungkapannya sama seperti ini dan ini bukanlah suatu tikrar.

5. Pengulangan Kisah Dalam Al-Qur’an

Kisah dalam Al-Qur’an banyak diulang-ulang, hingga beberapa puluh kali. Kisah Nabi Musa dan umatnya, disebutkan hampir 126 kali. Kisah nabi Adam disebutkan dalam surat al-Baqarah, surat al-Maidah dll. Kisah Nabi Isma’il disebut sampai 12 kali, kisah Nabi Daud disebut 16 kali dan kisah-kisah lainnya. Kisah-kisah tersebut, kendati diulang-ulang, namun dikemukakan dalam bentuk kalimat yang berbeda-beda; terkadang singkat, sedang, bahkan secara panjang lebar. (ulumul qur’an, hal 249: pengantar pak Afif)
Al-Qur’an banyak mengandung kisah-kisah yang diungkapkan secara berulang-ulang kali di beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Di satu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang di tempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar, dsb. Diantara hikmahnya ialah:

1) Menjelaskan ke-balaghah-an Al-Qur’an dalam tingkat paling tinggi. Sebab diantara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan di saat membacanya di tempat lain
.
2) Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Qur’an. Sebab mengemukakan suatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat dimana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah.

3) memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih berkesan dan melekat dalam jiwa. Karena itu pada dasarnya pengulangan merupakan salah satu pemantapan nilai. Misalnya kisah Nabi Musa dengan Fir’aun. Kisah ini menggambarkan secara sempurna pergulatan sengit antara kebenaran dengan kebatilan. Dan sekalipun kisah itu sering diulang-ulang, tetapi pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuah surat.

4) Setiap kisah mempunyai maksud dan tujuan berbeda. Karena itulah kisah-kisah itu diungkapkan. Maka sebagian makna-maknanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna lainnya dikemukakan di tempat lain, sesuai dengan tuntutan keadaan. (ulumul qur’an, hal 249: pengantar pak Afif)

Qhadi abu Bakar bin At-Thayib mengatakan bahwa tikrar kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan salah satu bentuk dari tantangan balaghiah yang menunjukan kepadea kemukjizatan al-Qur’an dalam penempatan kata-kata sesuai posisinya dan pemaparan ayat-ayat yang banyak yang menunjukan kepada unsure balaghah yang tinggi. Qadhi Abu Bakar at-Thayib mengajak kita untuk melihat datu surat yang utuh dan mengenali kisahnya kemudian dia memaparkan surat an-Naml dan berkata; Allah memulai surat ini dengan menjelaskan bahwa al-qur’an itu dari sisi-Nya, dengan firman-Nya “wainnaka latalaqal Qur’ana minladun hakimin aliim” (an-Naml:6). Kemudian menyambungkan ayat itu dengan kisah Musa AS ketika dia melihat api dan berkata kepada keluarganya; “inni anastu naaran saatikum minha bikhabarin au aatiikum bisihabin qabasin la’aluk tasqaluun” (an-Naml:7). Kemudian dalam surat thaha:10 masih dalam kisah ini, Allah berfirman;” la’alii aatikum minha biqabasin au ajidu ‘ala naari hudan” dalam ayat lain Allah berfirman;” la’alii aatiikum minha bikhabarin au jadwatin minan naari la’alkum tasthaluun” (al-Qhasas:29). Allah menyebutkan berbagai bentuk ungkapan untuk satu kisah, hal ini untuk menunjukan kemukjizatan al-Qur’an sehingga Allah berfirman :”falyatuu bihadiisin mitslihi”, untuk lebih menyatakan kelemahan makhluknya dan memberikan hujjah yang lebih jelas kepada mereka.

D. Bentuk-bentuk lafazh tikrar dalam al-Qur’an

Penyebutan Kata Benda (Isim/ إسم) Dua Kali (pengantar studi ilmu al-qur’an, hal.247)
Pengulangan dua kali isim/إسم memiliki empat kemungkinan;
(1)Keduanya معرفة, (2) Keduanya نكرة, (3) Yang pertama معرفة sedang yang kedua نكرة, (4) Yang pertama نكرة sedang yang kedua معرفة ..
1- Jika kedua-duanya, معرفة maka pada umumnya yang isim kedua adalah yang pertama. Seperti dalam surat Al-Fatihah ayat 6-7:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

Artinya: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
وَجَعَلُوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِنَّةِ نَسَبًا وَلَقَدْ عَلِمَتِ الْجِنَّةُ إِنَّهُمْ لَمُحْضَرُونَ (158)
Artinya: “158. Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. dan Sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka ).”


2- Sebaliknya, jika kedua-duanya نكرة, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya dalam surat Ar-Rum ayat 54:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ (54)

Artinya: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kenudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa.”.

Yang dimaksud ضعف (kelemahan) pertama adalah sperma,ضعف kedua طفولية (masa bayi), sedang ضعف ketiga adalah شيخوخة (orang tua atau lanjut usia). Kedua macam ini ada pada surat Al-Insyirah ayat 5-6:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)
Artinya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.

Dalam satu riwayat, Ibnu Abbas mengomentari ayat ini, “Satu” عسر (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua يسر (kemudahan). Karena kata عسر yang kedua diulangi dengan "ال"معرفة , maka عسر itu adalah عسر yang pertama. Adapun kata يسر yang ke dua bukan يسر yang pertama karena ia diulangi tanpa "ال" .
3- Jika yang pertama نكرة dan yang kedua معرفة maka yang kedua itu adalah yang pertama, karena sudah diketahui. Misalnya dalam ayat Al-muzzammil ayat 15-16:
إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا (15) فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا (16)
Dalam ayat lain, Allah SWT ber-Firman:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (35)
Artinya: “(35) Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nur: 35)


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang Rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir’aun”.

4- Jika yang pertama معرفة sedang yang kedua نكرة , maka tergantung qarinahnya. (indikasi) itu menunjukkan bahwa keduanya berbeda, seperti dalam surat Ar-rum ayat 55:
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ (55)
.
Artinya: “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa: “mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)”. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)”.
Terkadang qarinah itu menunjukkan bahwa keduanya sama, seperti dalam surat Az-Zumar ayat 27-28:
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآَنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (27) قُرْآَنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (28)
Artinya: “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur’an ini setiap manusia perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (Ialah) Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa”.


E. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan أسرارالتكرار فى القرآن adalah berupa penafsiran-penafsiran ayat dalam Al-Qur’an yang terdapat pengulangan. Pengulangan tersebut ada yang berupa:

1. pengulangan bunyi huruf yang sama, seperti pengulangan huruf ra dan ha.
2. pengulangan bunyi lafal, seperti pengulangan lafal al-Thaariq, kaidaa, dakkaa, soffaa, ahad, dan ‘aqabah.
3. pengulangan bunyi lafal yang berhampiran, seperti pengulangan bunyi tumisat, furijat, nufisat, uqqitat, ujjilat, gharqaa, nasytaa, sabhaa, sabqaa, amraa, raajifah, raadifah, waajifah, khaasyi’ah, haarifah, suyyirat, uttilat, sujjirat, dan zuwwijat pada surat an-Naazi’aat (79:1-5,6-10).
4. Pengulangan Ayat, seperti ayat dalam surat ar-Rahman dan surat al-Kafirun.
5. Pengulangan kisah-kisah para nabi.

Pengulangan-pengulangan ayat al-Qur’an tersebut bukan merupakan cacat atau kekurangan, karena pengulangan itu mempunyai maksud dan tujuan tersendiri, bahkan hal itu menjadikan ayat-ayat al-Qur’an menjadi sangat indah, puitis, dan romantis, sehingga tidak membosankan untuk dibaca, didengar, dan dikaji makna yang tersurat dan tersirat di dalamnya.


































ّّّّّالمرجع الأجنبى

Mamat Zaenuddin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah (Bandung: PT Refika Aditama. 2007), cet. Ke-1.
Wahab Muhsin dan T. Fuad Wahab, Pokok-Pokok Ilmu Balaghah (Bandung: Angkasa. 1986), cet. Ke-2.
Ali Al-Jarim dan Musthafa Usman, Terjemahan Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1993) cet. Ke-1.
Gorys Keraf, Diksi Dan Gaya Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2005) cet. Ke-15.
Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), cet. Ke-1
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006) cet. Ke-1
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. Ke-
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir ( Bandung: Pustaka Setia, 2005), cet. Ke-
Deni Hamdani Firdaus, Kamus Al-Qur’an (Purwakarta: Pustaka Ancala, 2007), cet. Ke-1



المرجع العربى

محمدمحمدأبوموسى, البلاغة القرآنية فى تفسيرالزمخشرى وأثرها فى الدراسات البلاغية (القاهرة: مكتبة وهبة, )
محمد عبد المطلب, البلاغة والأسلوبية (القاهرة: الشركة المصرية العالمية للنشر- لونجمان, 1994) الطبعة الأولى
على الجارم ومصطفى أمين, البلاغة الواضحة (جاكرتا: مكتبة الروضة,2007) الطبعة الأولى
وهبة الزحيلي, تفسيرالمنير (بيروت: دارالفكر, 1991) الطبعة الأولى
عبدالله محمد بن احمدالانصارى القرطبى, الجامع الاحكام القرآن ,الجزالسابع عشر

25.11.09

ILMU DILALAH

الفصل السابع
العلاقات الدلالية
هناك تقسيمان رئيسيان لعلم الدلالة هما :
1- علم الدلالة المصغر Micro Semantics ، وينصب اهتمامه على البناء الدلالي للكلمات المفردة.
2- علم الدلالي الموسع Macro semantics ، وينصب اهتمامه على دراسة العلاقات الدلالية بين الكلمات، وقد سبق الحديث في الفصول السابقة في الغالب عن القسم الأول، وفي هذا الفصل سيكون الاهتمام بالقسم الثاني، ونشير بداية إلى أن مفردات اللغة تنقسم من حيث دلالتها على المعنى ثلاثة أقسام :
الأول : يدل اللفظ الواحد على المعنى الواحد ة monosemy وهذا هو الأصل.(ويطلق أولمان على الاسم حين يرتبط بمعنى واحد مصطلح المواقف الدلالية البسيطة).
الثاني : يدل اللفظ الواحد على أكثر من معنى، وهذا ما يسمى بالمشترك اللفظي Homonymy، ويدخل فيه الأضداد، (ويطلق أولمان على هذه الحالة المواقف الدلالية المركبة).
الثالثة : يدل اللفظان أو أكثر على معنى واحد. وهذا ما يسمى بالمترادف Synonymy.

أولا : الترادف :
(أ‌) الترادف في اللغة : مصدر (ترادف) يدل على الحدث دون الدلالة على الزمان، ويدل بصيغته الصرفية، على المفاعلة بين طرفين، (وهما اللفظان اللذان يتعاوران موقعا سياقيا ودلالة)، وهذا المصدر من مادة (ردف)، التي يدخل ضمن دلالتها، الدلالة على التبعية والخلافة ومن ذلك : "الردف – الراكب خلف الراكب...وكل ما تبع شيئا فهو ردفه... والردافة بهاء : فعل ردف الملك، كالخلافة...قال المبرد : للردافة موضعان : أحدهما، أن يردفه الملوك دوابهم في صيد، والآخر، أن يخلف الملك إذا قام عن مجلسه، فينظر في أمر الناس".
وهذا واضح في الدلالة على أنه يحل محله في أمر من الأمور، وهذه أقرب الدلالات إلى معنى الترادف، الذي يحمل دلالة المادة على الخلافة، وفيه من المجاز لعلاقة المشابهة، حيث يردف اللفظ، لفظا آخر في القيام بوظيفته الدلالية، كما يردف الواحد من الناس آخر في أداء عمله.
(ب‌) الترادف في الاصطلاح :
الترادف في اصطلاح القدماء كما يعرفه الإمام الرازي : هو الألفاظ المفردةالدالة على شيء واحد باعتبار واحد".
(ج) آراء علماء اللغة القدامى :
وقد اختلف علماء العربية القدامى في وقوع الترادف فمنهم من أثبته ومنهم من أنكره، وقال التاج السبكي في شرح المنهاج : ذهب بعض الناس إلى انكار المترادف في اللغة العربية، وزعم أن كل ما يظن من المترادفات فهو من المتباينات التي تتباين بالصفات، كما في الإنسان والبشر، فإن الأول موضوع له باعتبار النسيان، أو باعتباره أنه يؤنس، والثاني باعتبار أنه بادي البشرة، وتكلف لأكثر المترادفات بمثل هذا المقال العجيب".ولعل التاج يشير بذلك إلى أبي هلال العسكري الذي ألف كتابا أسماه الفروق، وهو فيه ينكر وقوع الترادف، ومن أمثلة ما أورده في كتابه : تفريقه بين المدح والثناء بقوله : إن الثاني المدح المكرر.وبين المدح والإطراء، أن الثاني هو المدح في الوجه كما عني بذلك أحمد ابن فارس : في كتابه الصـاحبي في فقه اللغة، حيث يقول في "باب الأسماء كيف تقع على المسميات : ويسمى الشيء الواحد بالأسماء المختلفة، نحو السيف والمهند والحسام، والذي نقوله في هذا : أن الاسم واحد وهو السيف وما بعده من الألقاب صفات، ومذهبنا أن كل صفة منها فمعناها غير معنى الأخرى، وقد خالف في ذلك قوم فزعموا أنها وإن اختلفت ألفاظها، فإنها ترجع إلى معنى واحد، وذلك قولنا سيف وغضب وحسام، وقال آخرون : ليس منها اسم ولا صفة إلا ومعناها غير معنى الآخر، قالوا وكذلك الأفعال، نحو : مضى وذهب وانطلق وقعد وجلس ورقد ونام وهجع، قالوا : ففي قعد معنى ليس في جلس وكذلك القول فيما سواه وبهذا نقول، وهو مذهب شيخنا أبي العباس أحمد ابن يحيى ثعلب ويرد ابن فارس على حجج مثبتي الترادف، ومن خلال رده يتبين رأيه في مسألة الترادف يقول : وأما قولهم : إن المعنيين لواختلفا، لما جاز أن يعبر عن الشيء بالشيء فإنا نقول : إنما عبر عنه من طريق المشاكلة، ولسنا نقول : إن اللفظين مختلفان، فيلزم ما قالوه.وإنما نقول : إن في كل واحدة منهما معنى ليس في الأخرى".
فابن فارس يرى أن بين اللفظين مشاكلة، وأن بينهما قدرا من الدلالة يسمح بنيابة أحدهما عن الآخر في الكلام، ولكنه يؤكد على أن كل لفظ منهما يحمل دلالة خاصة ليست في الآخر.يقول : "ونحن نقول : إن في قعد معنى ليس في جلس ألا ترى أنا نقول : قام ثم قعد...ثم نقول كان مضطجعا فجلس، فيكون القعود عن قيام، والجلوس عن حالة هي دون الجلوس، لأن الجلس : المرتفع "فالجلوس ارتفاع عما هو دونه". ومما سبق يظهر أن علماء العربية القدامى تجاه الترادف فريقان :
الأول : يثبته ويغالي في إثباته، ويتوسع فيه ومن هؤلاء ابن خالوية (ت 324) الذي حكى عن نفسه بمجلس سيف الدولة بحلب أنه يحفظ للسيف خمسين اسما وألف كتابين في الترادف أحدهما في أسماء الأسد والثاني في أسماء الحية، ومجد الدين الفيروزابادي صاحب القاموس المحيط (ت 817) الذي ألف كتابا في الترادف، أسماه "الروض المسلوف فيما له اسمان إلى ألوف"، وآخر أسماه ترقيق الأسل لتصفيق العسل ذكر فيه ثمانين اسما للعسل منها : "العسل، والضرب، والضربة والضريب والشوب".
ومن هذا الفريق ابن جنى حيث عبر عن ذلك في " باب في استعمال الحروف بعضها مكان بعض" واستدل بذلك على وقوع الترادف فقال : "وجدت في اللغة من هذا الفن شيئا كثيرا لا يكاد يحاط به...وفيه موضع يشهد على من أنكر أن يكون في اللغة لفظان بمعنى واحد، حتى تكلف لذلك أن يوجد فرقا بين قعد وجلس، وبين ذراع وساعد، ألا ترى أنه لما كان رفث بالمرأة في معنى أفضى إليها جاز أن يتبع الرفث الحرف الذي بابه الإفضاء وهو (إلى).
الفريق الثاني : وهو يمنع الترادف ويرفضه "رفضا تاما، ومن هؤلاء أبو عبد الله محمد بن زياد الأعرابي (ت 231هـ)، وأبو العباس أحمد بن يحيى ثعلب (ت 291هـ) وأبو محمد عبد الله بن جعفر بن درستويه (ت 330هـ)، وأبو على الفارس (ت 377هـ)".
وكان الأخير مع ابن خالوية، في مجلس سيف الدولة المذكور آنفا، ورد على ابن خالوية ساخرا فقال : ما أحفظ له (يقصد السيف) إلا اسما واحدا، وهو السيف، قال ابن خالوية : فأين المهند والصارم وكذا وكذا؟فقال أبو على : هذه صفات، وكأن الشيخ لا يفرق بين الاسم والصفة". ومنهم ابن فارس وقد سبق ذكر رأيه، ورغم أن أبا هلال العسكري، كان من هذا الفريق الرافض للترادف المبالغ في رفضه في كتابه الفروق غير أنه "في كتابين آخرين له، ينسى هذا المبدأ ويذكر الألفاظ المترادفة، بلا اعتراض عليها، أو محاولة التفريق بينها، وأول كتابين هو : "التلخيص في معرفة أسماء الأشياء" وثاني الكتابين هو "المعجم في بقية الأشياء" ذكر فيه من الأسماء الدالة على بقية الماء في الحوض الجحفة..والخبطة..والدعث..والرشف..والسملة..والهلال".ويمكن القول بأن اللغويين القدماء فريقان تجاه الترادف :
الأول : يثبت وجوده ويحتج له، بأن ألفاظ اللغة يفسر بعضها بعضا ومن ذلك ، أن أهل اللغة مجمعون على أنهم إذا أرادوا أن يفسروا اللب قالوا هو العقل.
والثاني : ينكر الترادف ويثبت الفروق على نحو ما كان يفعل العسكري وابن فارس.
ويرى الدكتور أحمد مختار عمر أن " مثبتي الترادف كانوا فريقين، الأول : وسع في مفهومه، ولم يقيد حدوثه بأي قيود، والثاني كان يقيد حدوث الترادف، ويضع له شروطا تحد من كثرة وقوعه.ومن الأخيرين الرازي، الذي كان يرى قصر الترادف على ما يتطابق فيه المعنيان بدون أدنى تفاوت".والرازي برأيه هذا يتفق مع كثير من علماء اللغة المحدثين.
ويرى علي الجارم أن الفريقين كليهما قد أسرفا فيما ذهبا إليه، فالأول أسرف في إثبات الظاهرة وعد منها كل متشابهين في المعنى : "حتى كأنهم يريدون أن يزودوا مخالفيهم الحجة عليهم"والفريق الثاني أسرف في البحث عن الفروق الدلالية بين الألفاظ.
(د) الترادف عند المحدثين :
أغلب المحدثين من علماء اللغة، يجمعون على وقوع هذه الظاهرة في جميع لغات البشر، وأن كل لغة من هذه اللغات تحتوى بعض الألفاظ المترادفة، ولكنهم يضعون شروطا صارمة لقبول القول بالترادف بين كلمتين وهذه الشروط فيما يلي :
1- الاتفاق في المعنى بين الكلمتين اتفاقا تاما، على الأقل في ذهن الكثرة الغالبة، لأفراد البيئة الواحدة...فإذا تبين لنا بدليل قوي أن العربي كان حقا يفهم من كلمة جلس شيئا لا يستفيده من كلمة "قعد"قلنا حينئذ ليس بينهما ترادف".
2- الاتحاد في البيئة اللغوية بحيث تنتمي الكلمتان إلى لهجة واحدة، أو مجموعة منسجمة من اللهجات.
3- الاتحاد في العصر بحيث يكون استعمال الكلمتين في عصر واحد بمعنى واحد لافى عصرين متباينين، وتلك هي النظرة الوصفية Synchronic، ولا ينظرون إلى المترادفات نظرة تاريخية Diachronic.
4- ألا يكون أحد اللفظين تطورا صوتيا، للفظ الآخر، مثل الجثل، والجفل فأحدهما متطور عن الآخر.
"فإذا ثبت طبقت هذه الشروط على اللغة العربية، اتضح لنا أن الترادف لا يكاد يوجد في اللهجات العربية القديمة، إنما يمكن أن يلتمس في اللغة النموذية الأدبية".
ويعلل الدكتور أنيس لإنكار الترادف عند من أنكره من القدماء بأنهم كانوا من الاشتقاقين، وعلى رأسهم أبن دريد في كتابه "الاشتقاق" فهو المسئول الأول عن هذه المدرسة، وتبعه ابن فارس في مقاييس اللغة، وبأن بعضهم من الأدباء الذين يرون في الكلمات أمورا سحرية، ويتخيلون لها معاني لا يراها سراهم.ويقف هو موقفا وسطا، بين المغالين في إنكار الترادف، والمغالين في قبوله، حيث يذكر إنه إذا استبعدت المترادفات التي تحايل المثبتون على إثباتها ولم ترد في نص لغوي صحيح النسبة، وجدنا أنفسنا أمام عدد معقول من المترادفات في اللغة العربية.
ويرى الدكتور رمضان عبد التواب أنه "رغم ما يوجد بين لفظة مترادفة وأخرى، من فروق أحيانا، فإننا لا يصح أن ننكر الترادف، مع من أنكره جملة" ويعلل لرأيه يلفت النظر إلى أمر مهم في استعمال العربي لغته، ذلك الأمر هو أن "إحساس الناطقين باللغة، كان يعامل هذه الألفاظ معاملة المترادف، فنراهم يفسرون اللفظة منها بالأخرى.كما روى عن المازني أنه قال : "سمعت أبا سوار الغنوي يقرأ : "وإذا قلتم نسمة فادارأتم فيها، فقلت له : إنما هي نفس، فقال : النسمة والنفس واحد...".
ويرى على الجارم بعد أن أجرى تحليلا دلاليا لأسماء العسل، وأثبت أن معضمها من المجاز، وأن منها المقلوب مثل الشور، والشرو، ومنها المقترض مثل الدستفشار، ومنها المنسوب وغير ذلك، يرى "أن نقيس على هذه الأسماء غيرها، ونحكم بأن أكثر ما نسمع من المترادفات الكثيرة إنما جمعت على ضرب من التسامح، على أننا لا ننكر الترادف، ونرى أنه واقع فعلا، وأن وجوده في اللغات من الخير لها، ولكننا ندعو إلى التأمل والتدقيق، وعدم الإغراق في التوسيع والتضييق".
فهو يتجه مذهبا وسطا، بين المغالين في إثبات الترادف، والمغالين له وهو لا ينكر الترادف، ولا يقلبه إلا بعد بحث وتدقيق، وهو بذلك يتفق مع الدكتور أنيس والدكتور رمضان عبد التواب كما يتفق مع ترنش Trench الذي يرى أنه بالموازنة بين بعض الكلمات التي تجزم بأن بينها ترادفا، فإن معنى الترادف هنا ناقص أي لا بد من وجود فروق صغيرة جزئية بينها، قد تكون هذه الفروق مصاحبة لها في أصل الوضع، أو طارئة عليها باستعمال، أو أنها جاءت إليها من تصرف البلغاء.
"وفي هذا التعريف شيء من التساهل في شرح معنى الترادف فمن الهين أن يرى كل من له إلمام بعلم اللغة، أن إطلاق الترادف على الكلمات المتشابهة في معانيها الأساسية ليس غير، تسمية غير صحيحة، وإطلاق خال من الدقة والصواب، لأن المعنى الدقيق للترادف، يقتضى أن تتضمن الكلمات المترادفة معنى واحدا على التحديد، لا على التقريب، وأن يكون تشابه المعنى فيها كاملا، وأنها إن صح التشبيه، دوائر متحدة في المركز والمحيط".
ورغم هذا فهو لا ينكر الترادف ففي رأيه قد توجد ألفاظ بينها ترادف حقيقي، لكنه يرى أن هذه الألفاظ لا يمكن البحث عن فروق بينها لعدم وجود هذه الفروق.
فالترادف الحقيقي نادر الوقوع في رأيه، وأن أكثر ما يستخدم منه إنما يستخدم بضرب من المجاز، أي بالمعنى الشائع للترادف دون البحث والتدقيق في الفروق، وهو بذلك يتفق إلى حذ كبير مع أبي هلال العسكري في كتابه الفروق.
ويؤيد ليونز John Lyons وقوع الترادف غير التام incomplete synonymy، ويرى أنه شيء ليس نادرا أو غريبا، حيث توجد في هذا النوع من الترادف، حالة واحدة للتطابق identity، في جانب واحد من المعنى، لكن ليس في سواه، فقد تترادف الوحدات المعجمية lexemes، دون التطابق في المعنى الاجتماعي بينها، ويضرب لذلك أمثلة منها الكلمات : pap = dady=dad=father، وهو يريد بهذه الأمثلة أن يقول على الرغم من أنها تشير إلى معنى معجمي واحد، إلا أن كل واحدة تسـتأثر بدلالة اجتماعية خاصة ليست في الأخرى، ذلك أنها تدل على طبقات اجتماعية مختلفة، وهو بهذا لا يساند فكرة وقوع الترادف التام كما هو واضح من كلامه.
ويرى بلومفليد أنه "إذا اختلفت الصيغ صوتيا، وجب اختلافها في المعنى، وعلى هذا فلا ترادف عنده ويوافقه على ذلك فيرث".
وإذا كان من القدماء من ذهب إلى إنكار الترادف بناء على وجود فروق دلالية بين الألفاظ، التي يزعم أنها مترادفة فإن من المحدثين من ذهب إلى ذلك فقد لخص Collinson، الفروق التي تقع بين اللفظين اللذين يدعى ترادفهما فيما يأتي :
1- أن يكون أحدهما أعم من الآخر مثل (بكى وانتحب).
2- أن يكون أحدهما أكثر حدة أو قوة من الآخر مثل (أنهك وتعب).
3- أن يكون أحدهما مرتبطا بالانفعال أو الإثارة أكثر من الآخر مثل (أتون- موقد).
4- أن يكون أحدهما متميزا باستحسان (أدبي أواستهجان والآخر يكون محايدا مثل : تواليت- مرحاض – دورة المياه).
5- أن يكون أحدهما أكثر تخصصية من الآخر (حكم ذاتي – استقلال).
6- أن يكون أحدهما أكثر ارتباطا باللغة المكتوبة وأدبيا أكثر من الآخر مثل (تلو، بعد).
7- أن يكون أحدهما أكثر عامية أو محلية أو لهجية من الآخر مثل (لحام- جزار).
8- أن يكون أحدهما ينتمى إلى لغة الأطفال، أو إلى من يتحدث إلى الأطفال بخلاف الآخر مثل (مم – كل).
ويقدم الدكتور كمال بشر خطة لعلاج مشكلة الترادف يبدأها بذكر أسباب اختلاف العلماء، واضطراب رأيهم في الاعتراف بالترادف، وإنكاره ثم يقدم العلاج وتتمثل أسباب المشكلة عنده في سببين :
1- عدم الاتفاق بين الدراسين على المقصود بالترادف، بل إن بعضهم لم يكلف نفسه مؤنة تعريفه، أو حتى الإشارة إلى تعريف أورده غيره.
2- اختلاف وجهات النظر، أو اختلاف المناهج بين الدراسين.
ثم يثنى بتقديم علاج المشكلة وهو يتمثل في التخلص من سببيها السابقين، ويكون ذلك بتوضيحهما وبيان المقصود منهما " وهو يختار تعريف أولمان للترادف الذي يقول : "المترادفات ألفاظ متحدة المعنى، وقابلة للتبادل فيما بينها في أي سابق"وهذا علاج للسبب الأول، وعلاج السبب الثاني يتمثل في اختياره المنهج الوصفي Descriptive ويعنى به القيام بالدراسة الإحصائية الشاملة، لكل ما يدخل تحت هذا الباب، مما هو موجود في اللغة، في فترة زمنية محددة، دون النظر إلى سابقها أو لاحقها ويتطلب هذا المنهج الوصفي خطوات أساسية، لابد من الاعتماد عليها :

1- تحديد بيئة الكلام المدروس، سواء أكان لهجة معينة، أم اللغة العربية بصفة عامة.
2- تحديد الصيغة، أهي أسلوب العامة، أم أسلوب المثقفين؟
3- مراعاة سياق الحال، وهو مجموع الظروف التي تحيط بالحدث الكلامي وتلابسه.
ثم ننظر إلى الترادف على أساس ما سبق، فمن الجائز "أن تتفق كلمتان أو أكثر في المعنى، وقد لا ندرك الفرق بينهما، غير أن الفرق قد نشعر به، حين نحاول أن نستبدل الكلمات بعضها ببعض في المواقف المختلفة ومن الجائز أيضا أن يصح التبادل في أي موقف إلى نظرنا إلى الموضوع نظرة وصفية، وهنا تدخل أهمية العامل الثاني، بمعنى أنه إذا كانت الدراسة في لهجة القاهرة، ووجدنا كلمتين تحل كل منهما محل الأخرى في جميع المواقف، إلا أننا بالنظر الدقيق قد نجد إحداهما، تنتمي إلى بيئة المثقفين والأخرى إلى العامة ومن هنا فليس هذا من قبيل التبادل التام، وقد نجد كلمتين تنتميان إلى أسلوب واحد ولكن قد نجد أن إحداهما أكثر استعمالا من الأخرى ومن هنا لا يعتبر هذا من قبيل التبادل التام.
ويرى أنه إذا نحن أخضنا الترادف لهذه الدراسة الوصفية، فإنه لا يمكن أن يكون هناك ترادف أبدا، بل يمكن أن يكون ما يسمى شبه الترادف أو أنصاف الترادف على نحو ما أسماه أولمان.وإذا اختلف المنهج، بمعنى أننا لو نظرنا إلى الترادف نظرة عامة دون تحديد منهج معين فإن نتائج هذا المنهج تؤدي بنا إلى وجود هذا الترادف، وإذا خضع الترادف للدراسة دون تحديد فترة معينة من تاريخ لغتنا العربية قديما وحديثا، فإن هذا يسلمنا إلى وجود الترادف مع إمكانية إخراج بعض الأمثلة من الترادف.
ويمكن تلخيص موقف المحدثين من الترادف على النحو التالي :
1- جمهور اللغويين المحدثين على إنكار وقوع الترادف التام، ومن هؤلاء بلومفيلد، وفيرث.
2- عدد قليل منهم يسمح بوقوعه إما بتضييق شديد أو مع الشيء من التجوز أو بشروط خاصة.
ومن المضيقين أولمان، ومن المجوزين له الفريق الذي قال عنه لهرر Lehrer، هناك فريق يقول بوجود الترادف لأنه يكتفي بصحة تبادل اللفظين في معظم السياق مثل Mama، Mather، والخلاف الأسلوبي بينهما لا يمنع ترادفهما، وممن يسمح بوقوعه بشروط خاصة الدكتور إبراهيم أنيس.
ويمكن القول أن جميع اللغويين المحدثين، يقرون بوقوع الترادف غير التام أو ما يسمى بشبه الترادف.



(هـ) موقفنا من ظاهرة الترادف
وهو موقف مبني على دراسة دلالية تطبيقية، لألفاظ المعاملات المادية في القرآن الكريم، وفي هذه الدراسة 375 لفظا، مقسومة إلى اثنى عشؤ مجالا دلاليا، كل منها دراسته في فصل مستقل وقد وقع شبه الترادف في تسعة مجالات منها، ووقع الترادف في مجالين فقط وخلا منه مجال، ومن أمثلة شبه الترادف فيما يأتي :
(درهم – ورق) فقد وردا في القرآن الكريم بمعنى واحد .. إلا أن الورق أعم من لفظ الدرهم.
(السقاية – الصواع) أطلقا على مسمى واحد في القرآن الكريم غير أن الترادف بينهما غير تام.
(القسطاس – الميزان) شبه مترادفين في القرآن الكريم، والثاني أعم من الأول.
فشبه الترادف يعتبر كثيرا نسبيا، وهذا يؤيد ما ذهب إليه أولمان وفيرث والدكتور كمال بشر وما وقع من الترادف بين (بخسر وينقص) وردا مترادفين، لأنهما وردا في نفس السياق اللغوي بمعنى واحد وهو النقص، فالأول في قوله تعالى :
(ولا تخسر الميزان) في سورة الرحمن الآية 9.والثاني في قوله تعالى : (ولا تنقص المكيال والميزان)سورة هود الآية 84.وبين يأتلى ويقسم وردا في القرآن الكريم بمعنى واحد هو يخلف ولكن هذا الترادف الذي يبدو أنه تام هنا، لا يتحقق تمامه هذا إلا في مجال المعاملات المادية وهذا في القرآن الكريم فقط، فإذا خرجنا بلفظ يخسر أو ينقص عن مجال المعاملات لا ننفي الترادف بينهما، لأن كلا منهما ورد بمعان لم يرد بها الآخر في النص القرآني نفسه في مجالات أخرى غير المعاملات المادية.
وأما (يأتلى ويقسم) فرغم ورودهما في القرآن كله بمعنى واحد هو يحلف، إلا أنهما خارج القرآن الكريم نجدهما يفترقان فقد جاء يقسم بمعنى يشهد وجاء يأتلى بمعنى يقصر فتطبيق الشروط الدقيقة في دراسة دلالة الكلمات يثبت لبعضها الترادف في حدود الضيقة للغية، وفي مجال دلالي واحد، ولا يكاد الترادف التام يثبت بين كلمتين في أكثر من مجال واحد، ولذا فإني أرى أن نعبر عن هذه الظاهرة بمصطلح شبه الترادف Semi Synonymy عندما نتكلم عنها في نطاق اللغة بصفة عامة، ونعبر عنها بالترادف عندما يستخدم اللفظان في مجال دلالي واحد، وفي بيئة محددة بمعنى واحد.
ورغم هذا كله فلا مفر لنا من التسامح والتجوز في قبول مصطلح الترادف والنظر إليه دائما على أنه غير تام، فلا بد من وجوده وإن كان هذا على غير الوجه الحقيقة والتمام، وإن كان ترادفا نسبيا أو شبه الترادف، لأن تقارب الألفاظ في الدلالة على الشيء الواحد، على اختلاف نسب هذا التقارب هو الذي يعين المفسرين الشارحين والمعلمين على اختلاف تخصصاتهم على تفسير النصوص تفسيرا يكلف الفهم للمتلقين ولولا هذا الترادف المتسامح فيه ما كان هناك فهم اللغة وما تحقق الكشف عن معاني الكلمات الغامضة ولولا هذا الترادف المتسامح فيه، لأدى ذلك إلى نوع من الجمود في اللغة، (لأن انعدام الترادف يعنى انعدام التواصل اللغوي وإفقار التجربة الإبداعية لدى الإنسان).
(و) أسباب الترادف :
هناك أسباب متعددة، أدت إلى كثرة المترادفات في لغتنا العربية، وقد تنبه القدماء والمحدثون إلى أن لهذه الظاهرة أسبابا، وقد ورد عند القدماء بعض هذه الأسباب، وورد ادى المحدثين أسباب أخرى ويمكن إجمال هذه الأسباب فيما يأتي :
1- تعدد الأسماء للشيء الواحد باختلاف اللهجات.فقد يتحد المدلول، ويختلف الدال عليه باختلاف البيئات، ويظهر هذا بوضوح في مجال التسمية ويعود اختلاف الدال على المسمى الواحد من بيئة لأخرى إلى اختلاف الاعتبارات في النظر إلى الشيء الواحد في كل منهما، ومن ذلك : العصا تسمى في اليمن الصميل وفي مصر تسمى النبوت، فاعتبار اليبس والخشونة، هو الذي جعل أهل اليمن يسمونها بذلك الاسم، واعتبار ما كانت عليه هو الذي جعل أهل مصر يسمونها بهذا الاسم (إذ النبوت هو الفرع النبات من الشجرة).
والولد يسمى في اليمن العصفور ولعلهم أرادوا به أحد معنيين لهذا اللفظ هما (السيد أو الملك) أو كليهما، ويسمى في الحجاز المحفوظ وكلا التسميتين على التفاؤل، وهو يختلف من بيئة إلى أخرى، وهذا الاختلاف- في حد ذاته لا يسبب الترادف على الوجه الحقيقة- ولكن الذي يسببه وأوحى لنا به، هو أن صانعي المعاجم الأوائل انشغلوا بجمع اللغة فلم يشيروا – في الأغلب الأعم- إلى البيئات المختلفة للإلفاظ، وهذا ما جعل من جاءوا بعدهم، يظنون أن كل ما جاء من هذا الباب مترادفا، وقد أشار السيوطي إلى هذا السبب حيث قال : "لوقوع الألفاظ المترادفة سببان : أحدهما : أن يكون من واضعين وهو الأكثر بأن تضع إحدى القبيلتين أحد الاسمين، والأخرى الاسم الآخر للمسمى الواحد، من غير أن تشعر إحداهما بالأخرى، ثم يشتهر الوضعان، ويخفى الواصعان، أو يلتبس وضع أحدهما بوضع الآخر...).
والناظر في اللهجات العربية الحديثة، يجد مثل هذا الاختلاف فيما يسمى فكة مثلا في مصر، تسمى في لبنان فرافير، وفي سوريا والأردن فراطة، وفي العراق خردة وفي ليبيا رقاق، وفي السعودية صرافة.
2- أن يكون للشيء الواحد –في الأصل- اسم واحد، ثم يوصف بصفات مختلفة باختلاف خصائص ذلك الشيء، ثم تستخدم هذه الصفات اسماء وينسى ما فيها من الوصفية كأسماء السيف، الصارم والصقيل والباتر... الخ.ويدخل ضمن هذا السبب ماساقة الجارم من ميل العرب إلى الكنى، وهي كثيرة في كلامهم...والشيء الواحد عندهم قد يناله كثير من الكنى يكثر إطلاقها عليه، ويشيع استعمالها فيه وتزاحم اسمه في الشهرة، حتى تصبح مرادفة له...من ذلك كنى النمر، وهي أبو الأبرد، وأبو الأسود، وأبو جهل، وأبو خطاب، وأبو رقاش...".
3- التوليد : أي توليد الألفاظ الجديدة، لمعان تحملها ألفاظ موجودة في اللغة مثل كلمة المخرقة بمعنى الكذب، والطفيلي : للواغل وهذا عن طريق الاشتقاق ، ويأتي التوليد أيضا عن طريق المجاز يشتهر بين الأدباء، فيصبح حقيقة عرفية..."، ومن ذلك ما تسميه العسل نحلا، ومجاجا، وشفاء.
4- التطور الصوتي : بالقلب والإبدال فمن القلب جبذ، وجذب، ونأى وناء ومن الإبدال، هتلت السماء وهتنت، والحثالة والحفالة لردئ الأشياء وجدث وجدف للقبر.
5- الافتراض : وهو أن تأخذ اللغة كلمات من لغات أخرى، لها في هذه اللغة نظائر في المعنى، مثل كلمة دستفشار بمعنى العسل فارسية، والاستبرق للحرير الثخين، والسندس للحرير الرقيق، كمبيوتر للحاسوب وقد ساق السيوطي عددا من الألفاظ المعربة التي ترادف ألفاظا عربية، في "فصل في المعرب الذي له اسم في لغة العرب"، ومن هذه الألفاظ : الطاجن وهو فارسي يسمى المقلي في العربية، والميزاب يسمى في العربية المثعب...والياسمين يسمى في العربية السمسق..الخ.
- وجود ألفاظ غير مقبولة الدلالة في المجتمع، يجعل المجتمع يبحث عن ألفاظ غيرها لأنها سريعة الابتذال، فيتولد عن ذلك بكثرة الاستعمال عدد من الألفاظ المترادفة على مدلول واحد، ومن ذلك الألفاظ الدالة على قضاء الحاجة وأماكنها مثل الخلاء والمرحاض ودورة المياة، والكنيف والتواليت والحمام.
7- المجازات المنسية : التي أصبحت حقيقة عرفية بطول زمان استعمالها، حتى رادفت كلمات مستخدمة بمعناها الأصلي مثل كلمة الرحمة التي رادفت الرأفة.
فوائد الترادف : ذكر السيوطي أن من فوائد الترادف ما يأتي :
1- أن تكثر الوسائل أي الطرق إلى الإخبار عما في النفس، فإنه ربما نسي أحد اللفظين أو عسر عليه النطق به".وقد جنبت المترادفات واصل بن عطاء وكان من أخطب الناس وكان ألثغا جنبته أن ينطق بالراء في خطبة له ذم فيها بشارا واستغنى بالمترادفات عن الكلمات التي فيها هذا الحرف فمدحه الشاعر بقوله :
ويجعل البرقمحا في تصرفه وجانب الراء حتى احتال للشعر
ولم يطق مطرا والقول يجعله فعاذ بالغيث إشفاقا من المطر
2- التوسع في سلوك طرق الفصاحة، وأساليب البلاغة في النظم والنثر ، فالمترادفات تبيح للشاعر أن يختار من الألفاظ ما يتناسب مع ما يريد من قافية ووزن، كما تبيح للناثر ما يريد أن يزين به كلامه من الجناس والسجع وغيرها من أصناف البديع كما تتيح لهما مراعاة مقتضى الحال من البلاغة باختيار اللفظ المناسب لأنه قد يصلح لفظ لمقام، ولا يصلح فيه لفظ آخر.
ثانيا : المشترك اللفظي :
هو في الاصطلاح كما حده أهل الأصول بأنه اللفظ الواحد الدال على معنيين مختلفين فأكثر دلالة على السواء عند أهل تلك اللغة".
1- آراء علماء العربية القدامى : وهم تجاه المشترك اللفظي فريقان :
أ- فريق يؤيد وقوعه.
ب- فريق ينفي وقوعه.
والفريق الأول : يمثله جمهور علماء اللغة الأقدمون يقول السيوطي : "فالأكثرون على أنه ممكن الوقوع، وحجتهم في ذلك : لجواز أن يقع إما من واضعين، بأن يضع أحدهما لفظ لمعنى ، ثم يضعه الآخر لمعنى آخر، ويشتهر ذلك اللفظ بين الطائفتين في إفادته المعنيين، وهذا على أن اللغات غير توقيفية، وإما من واضع واحد لغرض الإبهام على السامع حيث يكون التصريح سببا للمفسدة.
2- وهو واقع أيضا : "لنقل أهل اللغة ذلك في كثير من الألفاظ".
3- ومنهم من : أوجب وقوعه : لأن المعاني غير متناهية والألفاظ متناهية، فإذا وزع لزم الاشتراك "، أي إذا وزعت المعاني على الألفاظ كثرت المعاني عليها فلزم الاشتراك.
ومنهم من ذهب إلى أن الاشتراك أغلب، فقال : لأن الحروف بأسرها مشتركة بشهادة النحاة، والأفعال الماضية مشتركة بين الخير والدعاء والمضارع كذلك، وهو أيضا مشترك بين الحال والاستقبال، والأسماء كثير فيها الاشتراك، فإذا ضممناها إلى قسمي الحروف والأفعال كان الاشتراك أغلب".
والفريق الثاني : ويمثله عدد قليل من علماء اللغة الأقدمين وأشهرهم ابن درستويه الذي يرفض أن يكون لفظ وجد من المشترك : يقول : في شرح الفصيح، وقد ذكر اللفظة وجد واختلاف معانيها – هذه اللفظة من أقوى حجج من يزعم أن من كلام العرب ما يتفق لفظه ويختلف معناه، لأن سيبويه ذكره في أول كتابه، وجعله من الأصول المتقدمة، فظن من لم يتأمل المعاني، ولم يتحقق الحقائق أن هذا لفظ واحد قد جاء لمعان مختلفة، وإنما هذه المعاني كلها شيء واحد، وهو إصابة الشيء خيرا كان أو شرا ولكن فرقوا بين المصادر لأن المفعولات كانت مختلفة فجعل الفرق في المصادر بأنها أيضا مفعولة، والمصادر كثيرة التصاريف جدا، وأمثلتها كثيرة مختلفة، وقياسها غامض."
فجعل علة تفريقهم بين المعاني اللفظ الواحد، راجعة إلى تفريقهم بين المصادر (وجد) بناء على تفريقهم بين المفاعيل حسب اختلاف المقامات وسياقات الكلام ومن أمثلة ذلك وجدت الضالة من الوجود، ووجدت عليه من الموجدة...الخ.
وقد فطن ابن درستويه إلى بعض أسباب وقوع المشترك اللفظي في اللغة وفطن مع ذلك إلى مجىء اللفظ من لغتين مختلفين بمعنيين مختلفين، أو التعبير في بناء الكلمة، نتيجة التطور الصوتي : فهو يقول : "وإنما يجىء ذلك في لغتين متباينتين، أو الحذف واختصار وقع في الكلام حتى اشتبه اللفظان.
2- آراء المحدثين من علماء اللغة :
يرى الدكتور إبراهيم أنيس : "أن الكلام الفريقين قد أسرف فيما ذهب إليه، وبعد عن جادة الصواب في بحثه، إذ لا معنى لإنكار المشترك اللفظي مع ما روى لنا في الأساليب العربية الصحيحة من أمثلة كثيرة، لا يتطرق إليها الشك، كذلك لا معنى للمغالاة في رواية أمثلة له مع ما في هذا من التعسف والتكلف.."ثم يقول : "وليس الأمر من البساطة بالقدر الذي تصوره القدماء من علماء اللغة، إذ وقع المشترك في كل لغة، وقد دعت عوامل متعددة لوقوعه، فكما تطور أصوات الكلمات وتتغير، قد تتطور معانيها وتتغير مع اختفاظها بأصواتها، وتطور المعاني وتغيرها مع الاختفاظ بالأصوات، هو الذي ينتج لنا كلمات اشتركت في الصورة واختلفت في المعنى".
والدكتور أنيس بعبارته هذه يؤيد ابن درستويه في إرجاعه ظاهرة الاشتراك اللفظي، إلى عوامل التطور المعنوي، بل إنه يصرح بهذا التأييد، فيقول : وقد كان ابن درستويه محقا حين أنكر معظم تلك الألفاظ، التي عدت من المشترك اللفظي، واعتبرها من المجاز، فكلمة الهلال حين تعتبر عن هلال السماء، وعن حديدة الصيد التي تشبه في شكلها الهلال، وعن هلال النعل الذي يشبه في شكله الهلال، لا يصح إذن أن تعد من المشترك اللفظي لأن المعنى واحد في كل هذا، ولقد لعب المجاز دوره، في كل هذه الاستعمالات".والمشترك اللفظي الحقيقي في رأيه : إنما يكون حين لا نلمح أي صلة بين المعنيين كأن يقال لنا : إن الأرض هي الكرة الأرضية وهي أيضا الزكام".على حين كان رأي القدماء عدم التفرقة بين ما يلمح الصلة فيه بين المعنيين وغيره، والمحدثون من علماء اللغة يعترفون بوقوع المشترك اللفظي، وإنه لا يقتصر وجوده على اللغة العربية بل هو موجود في جميع اللغات.والمشترك اللفظي على أنواع أربعة عندهم :
1- وجود معنى مركزي للفظ تدور حوله عدة معاني فرعية أو هامشية.
2- تعدد المعنى نتيجة لاستعمال اللفظ في مواقف مختلفة.
3- دلالة الكلمة الواحدة على أكثر من معنى نتيجة لتطور في جانب المعنى.
4- وجود كلمتين تدل كل منهما على معنى، وقد اتحدت صورة الكلمتين نتيجة تطور في جانب النطق.
ويذهب المحدثون من علماء اللغة مذهب ابن درستويه في التعليل لوقوع ظاهرة الاشتراك اللفظي، غير أنهم توسعوا في التعليل لها وإيضاح أسبابها وهذه الأسباب هي :
1- المجاز : مثل استخدام العين للدلالة على عضو الإبصار، والحسد والجاسوس...الخ.ومثل استخدام كلمة التقاوي بمعنى البذور، لأنها كانت في أصلها تقوية أي إعانة من السلطان للفلاح، تمثلت في البذور فأطلقت عليها.
2- سوء فهم المعنى وخاصة عند الأطفال.
3- الاقتراض : من اللغات الأخرى مع اتفاق اللفظين في الصورة الصوتية، ومثال ما وافق فيه اللفظ المعرب اللفظ العربي : كلمة زور بمعنى الاختلاط فارسية، بمعنى القول الباطل في العربية، وكلمة الشفرة بمعنى ما حدد من الحديد كحد السيف والسكين عربية، ومعربة بمعنى : "رموز يستعملها فريق من الناس للتفاهم السري فيما بينهم معربة".وكلمة الكور عربية بمعنى الرحل بأداته، ومعربة بمعنى ما يبنى من الطين يستخدمه الحداد في صناعته.
4- اختلاف اللهجات : فالألفت عند تميم هو الأعسر، وعند قيس هو الأحمق، ثم استعمل هؤلاء لغة هؤلاء.
5- التطور اللغوي : هو التطور الصوتي بالقلب والإبدال فمن الإبدال : كلمة الفروة بمعنى جلدة الرأس والغنى، لكن المعنى الثاني هو لكلمة الثروة، وقد أبدلت الثاء فاء " فتطابقت مع الكلمة الأولى في صورتها الصوتية فحملت المعنيين جميعا.
ومن القلب المكاني : نأى وناء : ناء بصدره : إذا نهض وناء : إذا بعد كنأى.
والذي حدث أن الذي بمعنى بعد هو الأول وأن الذي بمعنى نهض هو الثاني، فلما قلب الأول إلى ناء تطابقت صورته مع الثاني فحمل المعنيين جميعا، وهناك قراءة قرآنية في قوله تعالى : أعرض وناء بجانبه).بمعنى (أعرض ونأى بجانبه).سورة الإسراء : الآية 83 وسورة الفصلت، الآية : 51.

7- أو من اشتراك مفردين مختلفي المعنى في صيغة جمع واحد، تمثل صورة صوتية واحدة، مثل كلمة جزر ، فهي تعنى الجزر من الإبل، لأنها جمع حزور، وتعنى أيضا القطعة من الأرض، تحاط بالمياه من كل جانب، لأنها جمع جزيرة، فإذا أطلقت كلمة الجزر.ذهب الذهن إلى المعنيين، الإبل، وجزر الأرض.
ويشير ليتش إلى هذه الظاهرة بمصطلح Homonymy ويعرفه بأنه عبارة عن كلمتين أو أكثر تنطق بطريقة واحدة، لأو بهجاء واحد ويفرق بينه وبين مصطلح آخر هو polysemy ويريد به الكلمة الواحدة تحمل معنين أو أكثر.
ويعبر أولمان عن هذه الظاهرة بالمعادلة الآتية :
لفظ واحد = مدلولات عدة، ويفرق أيضا كما رأينا ليتش – بين ضربين من الألفاظ يقعان تحت هذه الظاهرة فيقول : "هذان النوعان من الكلمات يجب أن نفرق بينهما، إذا كان لنا أن نحصل على صورة أمينة لما يجري بالعفل في ذهن المتكلم، وإنه لمن الطبيعي أن يكون المتكلم هو الحكم الوحيد في هذا الشأن، فإذا كانت البيئة اللغوية الخاصة تشعر بأن اللفظين ينتميان إلى كلمتين مختلفين، وجب علينا حينئذ أن نعدهما من باب المشترك اللفظي Homonymy، أما إذا كانت الألفاظ تمثل كلمة واحدة فهي ليست من هذا الباب".
إنه يفرق بين مصطلحين الأول هو المشترك اللفظي Homonymy ، ويعنى به تلك الكلمات، التي اتفقت صورتها على نحو ما مثلنا في العربية بالقلب والإبدال، ويعبر عن هذه المصطلح بعبارته "كلمات عدة متحدة الصيغة" ويرجع وجود المشترك اللفظي إلى مصدرين مختلفين أكثرهما وقوعا اتفاق كلمتين مستقلين أو أكثر في الصيغة اتفاقا بطريق الصدفة، ويمثل لها بالصيغة Sound التي تعد تطورا لأربع كلمات منها كلمة Sound الألمانية بمعنى صحيح البدن، وsound بمعنى سبر الغرور وهي امتداد للفعل الفرنسي Sonder.

ويمثل لهذا النوع من الاستعمال المجازي بكلمة Crane وهو لسم طائر الكركي، حيث أطلق هذا الاسم على مدلول جديد، وهو الدلالة على آلة تستعمل في رفع الأحمال الثقيلة وهو استعمال قائم على النقل الدلالي لعلاقة المشابهة بين المدلولين القديم والجديد، حيث يعيش المعنيان جنبا إلى جنب مما يسبب تعدد المعنى للفظ واحد، وهكذا يفرق المحدثون من اللغويين بين هذين المصطلحين عند التعرض لدراسة هذه الظاهرة (الظاهرة الاشتراك اللفظي).
والمشترك اللفظي في نظره محدود الوقوع والحدوث ولكن بصزرة أكثر مما يظن الناس عادة، وهو تطور غير طبيعي في اللغة.
أما تعدد المعنى فهو كثير الوقوع فقدرة " الكلمة الواحدة على التعبير عن مدلولات متعددة إنما هي خاصة من الخواص الأساسية للكلام الإنساني، ويتميز التغير الدلالي عن التغيرات اللغوية الأخرى الصوتية والصرفية والنحوية، بأن المدلولات القديمة تعيش جنبا إلى جنب المدلولات الجديدة، على عكس التغيرات الأخرى التي تطرح فيها المرحلة السابقة وتحل محلها المرحلة الجديدة.
ومهما كان الأمر من وقوع المشترك في اللغة العربية وغيرها فإنه لا وجود له في واقع الأمر إلا في معجم لغة من اللغات، أما في نصوص هذه اللغة واستعملاتها فلا وجود إلا لمعنى، من معاني هذا المشترك إذ السياق هو الكفيل بتحديد معنى واحد من معاني الكلمة، حيث لا تستخدم الكلمة بأكثر من معنى في السياق الواحد إلا على ضرب من الاحتمال.
ثالثا : الأضداد :
والضد في اللغة هو النظير والكفء زالجمع أضداد، وقال أبو عمر : الضد مثل الشيء والضد خلافه، وضاده إذا باينه مخالفة، والمتضادان اللذان لا يجتمعان كالليل والنهار".
ويتبين من ذلك أن كلمة الضد كلمة استخدمت في اللغة مشتركا لفظيا، إذ دلت على معان متعددة، وهي كذلك شبه ضد، لأنها استخدمت في الدلالة على الشيء ومخالفه ومباينه.
والضد في الاصطلاح : ينطق عليه التعريف الاصطلاحي للمشترك اللففظي غير أنه يختص باللفظ الدال على معنين متضادين، مثل الجون للدلالة على الأبيض والأسود، والقرء للطهر والحيض فهو فهو أخص من لفظ المشترك اللفظي، (وليس يدخل في هذا الاصطلاح، تلك الألفاظ المتضاد Antonymous، التي يعنى بها المحدثون اللفظين يحتلفان نطقا ويتضادان معنى مثل أسود وأبيض وقصير وطويل).
وهذه الظاهرة – ظاهرة دلالة اللفظ الواحد على معنين متضادين- ظاهرة موجودة في جميع اللغات، ولكنها لم تحظ باهتمام المحدثين من اللغويين الأروبيين، بقد ما حظيت باهتمام اللغويين العرب القدماء، حيث أفرد بعضهم لها مؤلفا مستقلا كابن الأنباري (328)، والأصمعي (216) وأبو حاتم (255) وابن السكيت (244) والصاغاني (650) وأبو الطيب (351) ومن الكتب التي لم تصل إلينا في الأضداد، كتاب الأضداد للتوزي (230) ولابن فارس كتاب في الأضداد أشار إليه في كتابه الصاحبي.

منكرو الأضداد : من الذين أنكروا الأضداد :
1- ثعلب (291) الذي قال : ليس في كلام العرب ضد لأنه لو كان فيه ضد لكان الكلام محالا، ولذلك وجدناه في كتاب مجاز الكلام وتصاريفه يعلل لوقوع الأضداد فيقول : من الأضداد مفازة مفعلة من فوز الرجل إذا مات، ومفازة من الفوز على جنس التفاؤل وكالسليم".
2- وابن درستويه الذي أنكر وقوع المشترك اللفظي من قبل ينكر وقوع الأضداد باعتبارها نوع من هذا المشتركن وقد ألف كتابا في إبطال الأضداد وهو يرد قول المثبتين للأضداد حيث يقول : " النوء الارتفاع بمشقة وثقلن منه قليل للكوكب قد ناء إذا طلع وزعم قوم من اللغويين أن النوء السقوط أيضا، وأنه من الأضداد وقد أوضحنا الحجة عليهم في ذلك في كتابنا في إبطال الأضداد".
3- القالي : حيث يعلل لوقوع الأضداد أيضا فيقول في الأمالي : "الصريم : الصبح سمي ذلك لأنه انصرم عن الليل، والصريم الليل، لأنه انصرم عن النهار وليس هو عندنا ضدا.
4- ابن دريد : حيث قال في الجمهرة : الشعب الافتراق والشعب الاجتماع، وليس من الأضداد، وإنما هي لغة لقوم، فأفاد بهذا أن شرط الأضداد أن يكون استعمال اللفظ في المعنين في لغة واحد.
5- الجر اليقي : الذي نسب إنكار الأضداد إلى المحققين من العلماء.
6- أحد الشيوخ أبي على الفارسي : فقد روى ابن سيده الأندلوسي أنه كان ينكر الأضداد التي حكاها أهل اللغة وأن تكون لفظة واحدة لشيء ضده".
وغالب الذين ينكرون الأضداد يعللون لوقوعها فهم لا يقبلونها دون الرجوع إلى أصلها، فإذا عادوا إلى أصلها لم يجدوها من الأضداد على وجه الحقيقة ومن تعليلاتهم لإنكار الأضداد في الأصل ما يأتي :
1- إذا وقع الحرف على معنين متضادين، فالأصل بمعنى واحد، ثم تداخل الاثنان على جهة الاتساع فمن ذلك الصريم يقال لليل صريم وللنهار صريم لأن الليل ينصرم من النهار والنهار ينصرم من الليل فأصل المعنيين من باب واحد وهو القطع.
2- كما رجعوا ذلك إلى اختلاف اللهجات : فإذا وقع الحرف على معنيين متضادين فمحال أن يكون العربي أوقعه عليهما بمساواة منه بينهما، ولكن أحد المعنيين لحى من العرب، والمعنى الآخر لحى غيره، ثم سمع بعضهم لغة بعض فأخذ هؤلاء عن هؤلاء وهؤلاء عن هؤلاء...فالجون الأبيض في لغة حي من العرب والجون الأسود في لغة حي آخر، ثم أخذ أحد الفريقين من الآخر.ومن التعليلات العقلية التي ساقاها هذا الفريق : ما قاله صاحب الحاصل تاج الدين الأرموي محمد بن الحسين (653) : "إن النقيضين لا يوضع لهما لفظ واحد لأن المشترك فيه إفادة التردد بين معنييه، والتردد في النقيضين حاصل بالذات لا من اللفظ".وعلى الرغم مما نجد من القالي وابن دريد وثعلب من إنكار الأضداد، غير أنهم يعترفون بوقوعهما في كلام العرب حيث يسجلون في كتبهم هذا الاعتراف فهذا أبو على يسجل في الأمالي : "الجادي : السائل والمعطي وهو من الأضداد".وهذا ابن دريد يسجل في الجمهرة : "البك :التفريق، والبك : الازدحام، كأنه من الأضداد"، وهذا ثعلب يقول : "من الأضداد مفازة .."
وإن علل لها إلا أنه يعترف بوقوع الأضداد بأسباب، وهذا التفريق يعتبر من المضيقين لهذه الظاهرة أن من الذين قبلوها بشروط، وهم في ذلك يتفقون مع المحدثين من اللغويين الذين يعللون للظاهرة.
مؤيدو وقوع الأضداد :
يمثل هذا الفريق جمهور العلماء اللغة من القدماء والمحدثين، وعلى رأسهم أبو بكر بن الأنباري الذي يبدو أن الدافع من تأليفه كتابه الأضداد ، هو الدافع عن العربية ضد الشعوبيين، الذين وجدوا في الأضداد ثغرة للهجوم على العربية وأهلها فهو يقول : "ويظن أهل البدع والزيغ والازدراء بالعرب أن ذلك كان منهم لنقصان حكمتهم، وقلة بلاغتهم وكثرة الالتباس في محاوراتهم عند اتصال مخاطباتهم، لكن هجومهم هذا مبني على وهم منهم لأن كلام العرب يصحح بعضه بعضا ويرتبط أوله بآخره ولا يعرف معنى الخطاب منه إلا باستيفائه واستكمال جميع حروفه، فجاز وقوع اللفظة الواحدة على المعنيين المتضادين، لأنها تتقدمها ويأتي بعدها ما يدل على خصوصية أحد المعنيين دون الآخر، فلا يراد بها في حال التكلم والإخبار إلا معنى واحد ومن ذلك قول الشاعر :
كل شيء ما خلا الموت جلل والفتى يسعى ويلهيه الأمل
واب الأنباري بذلك القول، يستند إلى عماد رصين في تحديد المعنى وهو السياق، والحق أن السياق هو الكفيل بهذه الوظيفة الدلالية، ومعلوم أن ليس هناك كلمة تستعمل بعيدا عن سياق، سواء أكان سياقا لغويا أم سياق حال، وعلى ذلك تنتفي هذه الشبهة من لغة العرب.
ومن المثبين لهذه الظاهرة ابن فارس (ت395هـ) حيث يقول : "ومن سنن العرب في الأسماء أن يسموا المتضادين باسم واحد ، نحو الجون للأسود والجون للأبيض، وأنكر ناس هذا المذهب، وأن العرب تأتي باسم واحد لشيء وضده، وهذا ليس بشيء وذلك أن الذين رووا أن العرب تسمى السيف مهندا والفرس طرفا، هم الذين رووا أن العرب تسمى المتضادين باسم واحد، وقد جردنا في هذا كتابا ذكرنا فيه ما احتجوا به، وذكرنا رد ذلك ونقضه".
وقد انضم معظم علماء الأصول إلى جمهرة اللغويين في إثبات هذه الظاهرة ويقسم الدكتور أحمد مختار عمر علماء اللغة من حيث موقفهم من الأضداد إلى أربعة طوائف حيث يقول : " يتفاوت المثبتون للأضداد في توسيع مفهوم اللفظ (يقصد لفظ الأضداد) وتضييقه، ومن الموسعين من بالغ في التوسيع، كما أن من المضيقين من بالغ في التضييق"، وهذه الطوائف الأربعة هي :
1- الموسعون.
2- المضيقون.
3- المبالغون في التوسيع.
4- المبالغون في التضييق.
أما الطائفة الأولى : فيدخلون في الأضداد ما كان ناتجا عن اختلاف اللهجات ومنهم ابن السكيت الذي روى لمقت الكتاب بمعنى كتبته بمعنى كتبته ومسحوته، مع أنه ينص على أن الأولى لغة لعقيل والثانية لسائر العرب، وفعل مثل ذلك الفارابي الغوي وابن الأنباري وأبو الطيب اللغوي.
أما الطائفة الثانية : فلا يجعلون النوع السابق من الأضداد، ومنهم ابن دريد، الذي اشترط أن يكون اللفظ الضد من لغة واحدة، ومنهم أبو على القالي الذي أخرج من الأضداد ما يعود إلى معنى عام واحد كما رأينا في كلمة الصريم. للصبح والليل، ومنهم من أخرج من الأضداد الألفاظ التي جاءت أضداد بسبب دلالة الصيغة الصرفية الواحدة على معنى وضده، مثل المبتاع بمعى المشترى، والشيء الذي يشتري.
وأما الطائفة الثالثة : فهم كثيرون ومنهم أبو حاتم وقطرب وابن الأنباري فأدخلوا في الأضداد ما أخرجته الطائفة الثانية، ويزيدون على ذلك، فابن الأنباري يجعل " ما" من الأضداد لأنها تدل على النفي كما تستخدم موصلة ونحن لأنها تستخدم للمثنى وللجمع.مما جعل الدكتور إبراهيم أنيس يرميه بالتكلف والتعسف لأنه أورد أمثلة في الأضداد وليست منه في شيء مثل كلمة الإسرار بمعنى الإظهار.
وأما الطائفة الرابعة : وهم المبالغون في التضييق فمعظمهم من المحدثين وعلى رأسهم الدكتور إبراهيم أنيس الذي علل لأسباب وقوع هذه الظاهرة وينتهي إلى القول بأنه : " حين نحلل أمثلة التضاد في اللغة العربية ونستعرضها جميعا، ثم نحذف منها ما يدل على التكلف والتعسف في اختيارها، يتضح لنا أن ليس بينها ما يفيد التضاد بمعناه العلمي الدقيق إلا نحو عشرين كلمة في كل اللغة.وأن مصير كلمات التضاد إلى الانقراض من اللغة، وذلك بأن تشتهر بمعنى واحد من المعنيين مع مرور الزمن".
ومن هؤلاء الدكتور رمضان عبد التواب حيث يقول : "غير أننا لا نود أن ننساق وراء المؤلفين في الأضداد من اللغويين العرب فعند كل ما أتوا به من كلمات هذه الظاهرة صحيحا"، ثم يسوق في أمثلة يخرجها من باب الأضداد وبتحليل هذه الأمثلة نجدها تعود إلى :
أ) المشترك اللفظي، كاستخدام كلمة المثل بمعنى المماثل والضعف.
ب) المجاز، كاستخدام الظعينة للهودج والمرأة.
ج) اختلاف اللهجات، كاستخدام المعصر للجارية التي دنت من الحيض عند قيس والتي ولدت أو تعنست عند الأزد، وهذه الأمثلة كلها عن ابن الأنباري، مما يثبت مبالغة ابن الأنباري في التوسع في إثبات الأضداد وإدخاله فيها ما ليس منها، ثم يعقب على هذه الأمثلة وغيرها بقوله : "ومثل ذلك كثير في كتب الأضداد وبعضه في الحقيقة من باب : المشترك اللفظي، لا من باب الأضداد".كما أنه يشترط في الكلمة الضد أن تكون كلمة واحدة بمتعلقاتها في المعنيين، من دون أن يطرأ عليها أي تغيير ويخرج من الأضداد ما يلي :
أ) اللفظ الذي ترك اللغويين العرب الاستشهاد على أحد معنييه.
ب) الألفاظ التي صحفها اللغويون أو حرفوها مثل كلمة برد بمعناها وبمعنى سخن.واستشهادهم بالبيت :
عافت الشرب في الشتاء فقلنا برديه تصاد فيه سخينا
وهو تحريف لعبارة بل رديه، وما حدث هو إدغام اللام في الراء، وليس من الصواب أخذ هذا الكم الكبير من الألفاظ ، وإدراجه تحت الأضداد كما ذهب المسرفين من مؤيدي هذه الظاهرة، ولكن يجب أن نخضع هذه الألفاظ للبحث العلمي، وللدرس اللغوي بحيث ترجع المعانى المتضادة إلى أصولها الكلية، أو إلى العلاقات المجازية، ويخرج من الظاهرة أيضا ما يعود إلى اختلاف اللهجات، وما يعود إلى احتمال الصيغة الصرفية فيه للمعنى وضده، وما يعود إلى التطور الصوتي، وهذا ما ذهب إليه علماء اللغة المحدثين، حيث أرجعوا كثرة الأضداد في العربية إلى أسبابها التي ستأتي، ولست مع من توسع في هذه الظاهرة أو بالغ فيها، ولست مع من بالغ في تضييقها، وأرى أن ألفاظ الأضداد في العربية بعد إخضاعها للدراسة العلمية، سيبقى منها عدد ليس بالقليل النادر، وأرى أن حكم المبالغين بأنه لن يبقى من الأضداد في العربية بمعنى العلمي الدقيق، لهذه الكلمة سوى عشرين كلمة، حكم فيه تجوز وتسرع يقول الدكتور أحمد مختار عمر، حتى لو اعتدلنا في تفسير مفهوم التضاد وأسقطنا بعض الأمثلة التي لا تعد منه يظل عندنا قدر كبير من ألفاظ الأضداد تتجاوز بكثير ما توقف عنده بعضهم وهو عشرون لفظا.
أسباب هذه الظاهرة :
تحدث علماء اللغة المحدثون، عن أسباب هذه الظاهرة ومنهم الدكتور إبراهيم أنيس والدكتور رمضان عبد التواب، والكتور أحمد مختار عمر، وهم يتفقون جميعا على عدة أسباب ووجدت الأخير قد ذكر الأسباب التي ذكرها السابقان وزاد عليها بحيث بدت أكثر شمولا، وإن اتفقوا جميعا في غالب هذه الأسباب، وقد قسم الدكتور مختار هذه الأسباب إلى ثلاثة أقسام :
أ‌) أسباب خارجية
ب‌) أسباب داخلية
ج) أسبا تاريخية
أولا : أسباب خارجية :
1- اختلاف اللهجات : مثل السدفة بمعنى الظلمة عند تميم وبمعنى الضوء في لغة قيس.
2- الاقتراض من لغة أجنبية : مثل كلمة جلل فهو عند جيسي Giese أن العربية أخذتها من العبرية، وهي فيها بمعنى دحرج، والشيء المدحرج يكون ثقيلا إحيانا وخفيفا أحيانا أخرى، فقد اعتمدت العربية على هذين الإيحائين المتضادين وأعطتهما معنيين متضادين هما عظيم وحقير، يؤيد ذلك ما ذكره ربحي كمال من أن معنى الكلمة في العربية الكتلة الصغيرة، والحجر الكبير الثقيل.
3- أسباب اجتماعية :
أ) التفاؤل : إطلاق اسم المفازة على الصحراء وهي مهلكة، والسليم على اللديغ.
ب) التشاؤم حيث يطلقون على الأسود أبيض وفي بعض البلدان العربية يسمون الفحم البياض.
ج) التهجم : مثل كلمة التعزيز فأصل معناها في العربية التعظيم، ومن ذلك قوله تعالى : (لتؤمنوا بالله ورسوله وتعزروه وتوقروه) سورة الفتح، الآية : 9.وقد استعملت بمعنى التأديب والتعنيف واللوم، تهكما بالمذنب واستهزاء به.
د) التأدب : مثل إطلاق كلمة البصر على الأعمى.
هـ) الخوف من الحسد : ومن ذلك إطلاق العرب كلمة الشوهاء على المهرة الجميلة وعلى القبيحة.
ثانيا : أسباب داخلية :
وهي تلك الأسباب النابعة من داخل اللغة وهي ثلاثة أقسام، أسباب ترتبط بالمعنى، وأخرى ترتبط باللفظ، وترتبط بالصيغة.
1- أسباب ترتبط بالمعنى، وهي :
أ‌) الاتساع : كإطلاق الصارخ على المغيث والمستغيث.
ب‌) المجاز : مثل إطلاق اسم الفاعل على المفعول وهذا الشائع في اللغات السامية، ومن ذلك قوله تعالى : "عيشة راضية" سورة الحاقة الآية 21.أي مرضية وقولهم تطليقة بائنة، والمعنى مبانة.
ج) عموم المعنى الأصلي : مثل كلمة الطرب التي تطلق على الفرج والحزن وأصل المعنى خفة تصيب الرجل، لشدة السرور أو لشدة الجزع.وكلمة الجون تطلق على الأبيض والأسود وهي في الأصل لمطلق اللون في العربية والعبرية والسريانية والفارسية.
د) تداعى المعاني المتضادة والتصاحب الذهني : لأن الضدية نوع من العلاقة بين المعاني، بل ربما كانت أقرب إلى الذهن من أية علاقة أخرى فمجرد ذكر معنى من المعاني يدعو ضد هذا المعنى إلى الذهن ومن ذلك كلمة البين تطلق على الوصل وعلى الفرقة لأن المعنى الأول يستدعى ضده الثاني.
هـ) زيادة القوة التعبيرية : إذا أراد المتحدث المبالغة في التعبير عن الشيء عبر عنه بضد معناه، ومن ذلك أن أحد خلفاء العرب في الأندلس سمي أحد جواريه بالقبيحة لشدة حسنها وجمالها.
2- أساب ترتبط باللفظ :
أ‌) اختلاف الأصل الاشتقاقي لكل من المعنيين المتضادين ومن ذلك : ضاع بمعنى اختفى وظهر، فالمعنى الأول من ضاع يضيع ضياعا، والثاني من ضاع يضوع، فالألف في الأول منقلبة عن الياء والثاني عن الواو، فاختلف المعنى لاختلاف الأصل الاشقاقي.
ب‌) الإبدال : ومن ذلك كلمة أسر بمعنى أظهر وكتم وأصل معنى الإظهار في كلمة أشر، فإبدال الشين سينا جعل الصورتين الصورتين للكلمتين، صورة واحدة تحمل المعنيين المتضادين ومثله كلمة لمق.وقد سبق ذكرها.
ج) القلب المكاني : مثل كلمة صار بمعنى جمع وبمعنى قطع وفرق ومنه قوله تعالى : "                         "سورة البقرة :260. بمعنى اجمعهن وضمهن، ومنهم من فسرها بمعنى قطعهن واجمعهن"، قال الفراء : لا تعرف صار بمعنى قطع إلا أن يكون الأصل فيه صرى، فقدمت اللام موضع العين كما قالوا عاث وعثا".
3- أسباب ترتبط بالصيغة :
أ) دلالة الصيغة على السلب والإيجاب ومن ذلك : دلالة فعل وأفعل....
وقد عبر ابن فارس عن هذه الأقسام الثلاثة فقال : ما يسمى الشيئان المختلفان بالاسمين المختلفين، وذلك أكثر الكلام، كرجل وفرس، وتسمى الأشياء الكثيرة بالاسم الواحد، نحو عين الماء وعين المال، وعين السحاب ويسمى الشيء الواحد بالأسماء المختلفة نحو السيف والمهند والحسام".وليست هناك مشكلة فيما يتعلق بالقسم الأول لأنه يجري على الأصل في أن كل اللفظ له معى واحد، وعلى أكثر كلمات اللغة، أما القسم الثاني وهو المشترك اللفظي بنوعيه، والمترادف في مثلان مشكلة دلالية، حظيت بعناية اللغويين القدماء والمحدثين، وسوف أفصل عنهما الحديث فيما يأتي بادئا بالترادف ومثنيا بالمشترك بنوعيه. 6- ومن أسباب الاشتراك اللفظي، اتحاد كلمتين في النطق، مع اتيانها من طريقين مختلفين من الاشتقاق مثل كلمة تجزأ، فهي بمعنى صار أجزأ لأنها جمع جزء وبمعنى اكتفى لأنها من أجزأ بمعنى كفى، والفعل أسرج بمعنى عمل سرجا، وبمعنى أوقد السراج.فالأول مشتق من السرج والثاني مشتق من السراج.والفعل باع بمعنى ضد اشترى وبمعنى قاس الشيء بالباع كما تقول باع الرجل الحبل، قاسه بالباع من باع يبوع بوعا. الثاني تعدد المعنى ويستخدمه الدلالة على الحالات التي تستعد فيها مدلولات الكلمة الواحدة على نحو مامثلنا في العربية لتعدد الدلالة عن طريق المجاز ويعبر عنه بعبارة مدلولات عدة للكلمة الواحدة.

20.11.09

BAB 3 MAKALAH MUJAHADAH FI AL-QUR'AN


الباب الثالث : القرآن الكريم ودلالته و تصوراته التربوية
الفصل الأول : القرآن الكرييم واللغة العربية
البحث الأول : القرآن الكريم وإعجازه اللغوي
يعتبر المسلمون أن القرآن هو كتاب الله وأنه أعجوبة بإعجازه وبحد ذاته. ، وإن فيه إعجاز أو معجزات. الإعجاز مشتق من العجز. والعجز: الضعف أو عدم القدرة. والإعجاز مصدره أعجز : وهو بمعنى الفوت والسبق. والمعجزة في اصطلاح العلماء: أمر خارق للعادة، مقرون بالتحدي، سالم من المعارضة. وإعجاز القرآن : يقصد به: إعجاز القرآن الناس أن يأتوا بمثله. أي نسبة العجز إلى الناس بسبب عدم قدرتهم على الآتيان بمثله. وقد تحدى الله المشركين أن يأتوا بمثل القرآن أو أن يأتوا بعشر سور من مثله ، فعجز عن ذلك بلغاء العرب، وأذعنوا لبلاغته وبيانه وشهدوا له بالإعجاز، ومازال التحدي قائما لكل الإنس والجن.
أ- أمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُواْ بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُواْ مَنِ اسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ اللّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ.
ب- قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيراً.
الإعجاز اللغوي للقرآن هو الإعجاز الرئيسي للقرآن. كل نبي وكل رسول قد أوتي من الكرامات ومن المعجزات ما يشهد له بالنبوة أو بالرسالة، وكانت تلك المعجزات مما تميز فيه أهل عصره.
1ـ فسيدنا موسى عليه السلام جاء في زمن كان السحر قد بلغ فيه شأواً عظيماً، فأعطاه الله تعالى من العلم ما أبطل به سحر السحرة.
2ـ وسيدنا عيسى عليه السلام جاء في زمن كان الطب قد بلغ فيه مبلغاً عظيماً، فأعطاه الله تعالى من العلم ما تفوق به على طب أطباء عصره.
3ـ وسيدنا محمد صلى الله عليه وسلم جاء في زمن كانت الميزة الرئيسية لأهل الجزيرة العربية فيه هي الفصاحة والبلاغة وحسن البيان. فجاء القرآن يتحدى العرب ـ وهم في هذه القمة من الفصاحة والبلاغة وحسن البيان ـ أن يأتوا بقرآن مثله.
لعل ما في كلمة < بسم الله> من أثر في تلطيف نفسية الفرد ، التي تولد من حيث يولد السرور والبهجة . فإذا كان كل القول الذي نقرأه أو نسمعه بدايته ابتسامة في أعماق أنفسنا ، فإننا نرغب في ذلك أكثر ، وتبقى البسمة تتبعه ، وما أدرانا بكل آثار كلمات القرآن الكريم في الأنفس ؛ وما هذه إلا واحدة تشفي الكثير من الأسقام النفسية .في ترديدها بسمة ، تسد مسالك الأحزان والاكتئاب ، فلا تتسول في الشعور. فتزيحها من مكان استولت عليه في فترة ضعف ووهن التفكير ، فيحل في عمق النفس أوامر رسم ملامح البسمات ، فلا تلبث مع الأيام أن ترتسم على الوجه إن شاء الله .
الإعجاز اللغوي في القرآن يجذب اهتمام كل دارس له فإذا أدركنا بعض ما ظهر منه فإن ما خفي منه أكثر وأعمق.قراءته أو سماعه تثير في أنفسنا أحاسيس نشعر بها وأخرى لا نشعر بها مباشرة، فهو يخاطب أيضا أعماق هذه النفس ، تلك التي فطرها الله عليها.
فعلينا أن نتدبر ألفاظه ومعانيه وما يصحبهما من إحساسات على مختلف أشكالها، انطلاقا من تحليل واستقراء كل حرف، والحروف في القرآن آيات ، وفى كل كلمة وآية معجزات... ومن جميع الجوانب العلمية التي يعرفها الإنسان .كل حرف وكل كلمة هي فكرة وكل فكرة تتداعى معها أفكار أخرى ، أولها الأقرب إليها من حيث الألفاظ المكونة للكلمة فيتم التمييز بين الكلمة الملفوظة والكلمات الأقرب إليها لفظا، وبالتالي إحضار الصورة الذهنية التي تعرّفها تلك الكلمة ( وإذا خطرت ببالنا صورة ذهنية آي المعنى أولا , تحضر معها الكلمة التي تعرفها حسب ما تعلمناه سابقا ) . مثلا كلمة حّسّنْ تتداعى معها الكلمات الأقرب لفظا منها حُسْنّ و حسان... وكذلك معنى حسن تتداعى معه الأفكار الأقرب إلى معناه .واقرب الكلمات ومعانيها التي تتداعى عند سماع أو لفظ كلمة بسم هي بسمة ، باسم ، بسمات . إضافة الى باقي الأفكار التي توحيها إلينا تلك الكلمة ؛ وكلها تولد فينا فرحة وما يسر النفس .
لنتدبر لفظ كلمة { بسم } ؛ أول كلمة نبدأ بها تلاوة القرآن الكريم مستقبلة كلمة الله سبحانه وتعالى ثم صفاته ، وندرسها من جانب وقعها في أغوار نفس الإنسان . وما استهلال كل سور القرآن بها إلا لأنها تحمل أسرارا عديدة والتي وردت في الكثير من تفاسير القرآن الكريم . كلمة بسم ، وهو من منابع حلاوة لفظها وتحبيذ قراءة القرآن وسماعه. بسم تُدخل في النفس بسمة خفية خافتة دون أن نشعر بها، فتنشرح لاستقبال اسم الله وما يلي تلك الكلمة من القول أو الفعل، ولذلك أيضا أوصانا الإسلام بأن نستهل بها كلامنا وكل أعمالنا .
إذا تأملنا جيدا ملامح الوجه عندما نتلفظ بكلمة بسم . نلاحظ أن هناك تطابق بين الملامح التي ترتسم على الوجه أثناء لفظ هذه الكلمة، والملامح التي ترسمها البسمة أثناء الابتسامة .لكي نتأكد من ذلك نقوم بمقارنة الملامح التي ترتسم على الوجه عند لفظ حروف كلمة بسم ، بملامح البسمة على الوجه (في زمن يقايس الزمن اللازم للفظ كلمة بسم بهدوء وتأنّى. لفظ الباء بالكسرة (بـِ): الباء من الأحرف الشفهية لأن مخرجها إلى الهواء من الشفتين .ضم الشفتين ثم فتحهما لإصدار صوت الباء يليه تمدد الشفتين عرضا لإظهار صوت الكسرة على الباء، هذه الملامح التي ارتسمت على الوجه تشبه تماما الملامح التي تبدأ بها البسمة .
لفظ السين ساكنا (ـسـْ) : من الأحرف الأصلية ومخرجها ما بين رأس اللسان وبين صفحتي الثنيتين عند التقاء الأسنان .
ضم الأسنان والشفتين مفتوحتين مع جريان الهواء ، هي أيضا من مكونات سمات البسمة عندما ترتسم على الوجه ، وخاصة ميزة ظهور الأسنان أثناء لفظها بعلامة السكون أكثر مما تكون عليه عند لفظها بالعلامات الأخرى ، وهي من المميزات الكبرى لملامح البسمة. لفظ الميم بالكسرة (ـِم ) : كما في لفظ حرف الباء بالكسرة إضافة إلى الغنّة لخروج صوت الحرف من الخيشوم المميزة له متمما لجريان الهواء الذي حدث أثناء لفظ حرف السين ساكنا ؛ وهذا كله نجده واضحا في الابتسامة مما يبرز تطابق الملامح أكثر ، التي يرسمها لفظ كلمة بسم على الوجه بالملامح التي ترسمها البسمة . إلى هذا كله نجد أن صفات حروف كلمة بسم تشترك في ميزتين هامتين جدا وضروريتين ، لدلالتهما على حالة اللسان الحركية أثناء لفظ حروف الكلمة وهما : الاستفال والاستفتاح .الاستفال : وهو تسفل اللسان أثناء النطق بالحرف وخروج صوت الحرف من أسفل الفم , والاستفال ضد الاستعلاء الذي يكون فيه اللسان عند الحنك .الاستفتاح : وهو جريان النفس لانفراج ظهر اللسان عند النطق بالحرف وعدم إطباقه على الحنك الأعلى .هاتين الصفتين توضحان دور اللسان أثناء لفظ هذه الحروف ومنهما نجد أن دور اللسان لا يكاد يذكر تماما كم في حالة البسمة .أما الصفات الأخرى المميزة لها تخص الصوت الذي نسمعه ولا تزيد أو تنقص من الملامح التي ترتسم على الوجه عند لفظ كلمة بسم. فإذا كانت الملامح التي ترتسم على الوجه أثناء لفظ كلمة بسم ، متطابقة مع تلك التي ترسمها البسمة ؛ ونعلم أيضا أن لفظ كلمة ما هو إلا حركات لعضلات الوجه واللسان والجهاز التنفسي ، وكذلك الابتسامة ما هي إلا حركات لعضلات الوجه والجهاز التنفسي واللسان المحدودة كما في مخارج وصفات حروف كلمة بسم .
فالأوامر التي تصدر من العقل لتعطي حركات ترتسم على الوجه أثناء اللفظ ، والأوامر التي تعطي حركات لرسم البسمة على الوجه : هي متطابقة إلى حدّ كبير ؛ وفى كلتا الحالتين هناك حالة نفسية تصحب الأمر الذي صدر؛ أي صورة ذهنية معبرة عنها ، وهي نفس الصورة الذهنية التي نكون عليها نفسيا أيضا، في حالة سماعنا لذلك اللفظ ، وإلا لما حدث إدراك اللفظ الذي نسمعه .
بـما أن الأوامر هي نفسها، فمعناه أن لفظ بسم أو سماعه ، يثير في أعماق أنفسنا نفس الإحساس والصورة الذهنية الذي تثيره أيضا البسمة في أعماقنا؛ ونحن لا نشعر بها تماما (إضافة إلى معناه المتعارف عليه) . أما إذا استشعرنا ذلك فإننا نشعر بالنواة المولدة للبسمة في أعماقنا ، وهو من بين ذلك السر الذي يمنح اللفظ حلاوة . إنه حقّا خطاب للنفس من عند الذي سواها ، حتى في نفوس من لا يفقه اللغة العربية فهي تثير في أعماقهم الخفية إحساس بالبسمة وهم لا يشعرون بها كلية.
البحث الثاني : نزول القرآن باللغة العربية
فإن حديثنا عن القرآن الكريم وأثره في اللغة العربية، حديث الشيء عن ذاته، فالقرآن الكريم عربي المبنى فصيح المعنى، وقد اختار الله تعالى لكتابه أفصح اللغات فقال تعالى: (إنا جعلناه قرآناً عربياً) وقال تعالى: (نزل به الروح الأمين على قلبك لتكون من المنذرين بلسان عربي مبين( [الشعراء: 195]، وقال تعالى: (قرآناً عربياً غير ذي عوج لعلهم يتقون( [الزمر: 28].‏ ومن الراجح أن اللغة العربية هي أقدم اللغات على الإطلاق، كما بينت الدراسات الحديثة وأنها اللغة التي علّم الله بها آدم الأسماء كلها، وهي لغة أهل الجنة كما ورد في الحديث: "أَحِبوا العرب لثلاث: لأني عربي، والقرآن عربي، وكلام أهل الجنة عربي".‏ فيمكن رد هذه الشبهة بعدة وجوه:
الوجه الأول: أنه لو كانت هذه الشبهة حقاً للزم منها عدم صحة نسبة الإنجيل إلى الله حيث إنه كتب بلغة لا يفهمها أكثر البشر وهي اللغة الآرامية، وهم يزعمون أن المسيح قد أرسل إلى جميع الأمم.
الوجه الثاني: أن القرآن نزل باللغة العربية لما للغة العربية من خصائص ومميزات لا توجد في لغة أخرى، فاللغة العربية من أغنى اللغات كلماً، وأعذبها منطقاً، وأسلسها أسلوباً، وأغزرها مادة، ولها من عوامل النمو ودواعي البقاء والرقي ما قلما يتهيأ لغيرها، وذلك لما فيها من اختلاف طرق الوضع والدلالة، وغلبة اطراد التصريف والاشتقاق، وتنوع المجاز والكناية وتعدد المترادفات، إلى النحت والقلب والإبدال والتعريب، ولقد شهد بعظمتها كثير من المنصفين الأجانب مثل (إرنست رينان) في كتاب (تاريخ اللغات السامية) حيث يقول: من أغرب المدهشات أن تثبت تلك اللغة القوية وتصل إلى درجة الكمال وسط الصحاري، عند أمة من الرحل تلك اللغة التي فاقت إخوتها بكثرة مفرداتها ودقة معانيها وحسن نظام مبانيها، وكانت هذه اللغة مجهولة عند الأمم، ومن يوم أن علمت ظهرت لنا في حلل الكمال إلى درجة أنها لم تتغير أي تغير يذكر، حتى إنها لم يعرف لها في كل أطوار حياتها لا طفولة ولا شيخوخة.
الوجه الثالث: أن القرآن نزل باللغة العربية لأن العربية هي وسيلة التفاهم مع القوم الذين أرسل إليهم الرسول، وبدأت الدعوة في محيطهم قبل أن تبلغ لغيرهم، كما قال تعالى: وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ.
الوجه الرابع: أن القرآن نزل باللغة العربية لإثبات إعجاز القرآن، لإثبات صدق الرسالة، فلقد بعث النبي صلى الله عليه وسلم في قوم فصحاء بلغاء يتبارى فصحاؤهم في نثر الكلام ونظمه في مجامعهم وأسواقهم، فجاءهم محمد صلى الله عليه وسلم بالقرآن، آية قاطعة وحجة باهرة على نبوته، وقال لهم إن ارتبتم في أن هذا القرآن من عند الله فأتوا بمثله، فعجزوا، فتحداهم أن يأتوا بعشر سور مثله فعجزوا، فتنزل معهم فتحداهم أن يأتوا بسورة من مثله فعجزوا، ولم يكن شيء أحب إليهم من أن يثبتوا كذب محمد صلى الله عليه وسلم، ولو وجدوا أي طريق يستطيعون ذلك من خلاله لسلكوه لشدة عداوتهم له وبغضهم لما جاء به، ولكنهم عجزوا، فدل ذلك أن هذا القرآن من عند الله، قال تعالى: وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُواْ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُواْ شُهَدَاءكُم مِّن دُونِ اللّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ .
وأما كيفية تبليغه للناس وهم لا يفهمون العربية، فهذا التبليغ بترجمة معانيه لهم، وبتعلمهم هم العربية، وهذا ما حدث في القرون الأولى، عرضت الدعوة على الناس كافة فآمن الكثير منهم، وتفقهوا في الدين وأتقنوا اللغة العربية، ففهموا القرآن وصاروا أئمة في الدين والفقه واللغة.
الفصل الثانى : دلالة الألفاظ القرآنية
البحث الأول : المشترك اللفظي فى القرآن
اهتم القدماء من علماء العربية بهذه الظاهرة و كانت هناك مؤلفات عديدة لمعالجتها سواء فيما يتعلق بالقرآن الكريم أو الحديث الشريف أو اللغة العربية بشكل عام.ووصل إلينا عدد من العناوين مثل (الأشباه و النظائر) ،أو (الوجوه و النظائر) ،أو عنوان (ما اتفق لفظه و اختلف معناه من القرآن المجيد) للمبرد. و ربما كان من أشهر المؤلفات القديمة في هذا الموضوع هو الذي وضعه كراع (علي بن حسن الهنائي ت310ه) الذي عنوانه (المنجد في اللغة). و بشكل عام كان تعريف المشترك هو (ما اتفق لفظه و اختلف معناه) أو بعبارة أخرى (اتحاد الصورة و اختلاف المعنى)، و قد ذكر سيبويه في (الكتاب) ذلك فقال " اعلم أن من كلامهم اتفاق اللفظين و اختلاف المعنيين) (ينظر الكتاب ج/1 ص 7).
و قد كان هناك من القدماء من ضيّق مفهوم المشترك حتى كاد أن ينكر وقوعه مثل (ابن درستويه)، و هناك من أكد وجوده و ربما بالغ في ذلك مثل ابن فارس و ابن خالويه و هناك منهم من اعتدل فلم ينكر و لم يبالغ بل أقرّ بأن هناك بعض المشترك اللفظي في اللغة، إذ أن ذلك لا ينافي المنطق بل أنه قد يكون سنة لغوية إن لم يكن ضرورة ،و لا يقتصر وجوده على العربية بل هو في كل اللغات، و الشواهد على ذلك كثيرة. و فيما يروى من الشواهد في ذلك قول الشاعر:
يا ويح قلبي من دواعي الهوى # إذا رحل الجيران عند الغروب
اتبعتهم طرفي وقد أزمعوا # و دمع عيني كفيض الغروب
كانوا و فيهم طفلة حرة # تفتر عن مثل أقاصي الغروب
فالغروب الأولى غروب الشمس، و الغروب الثانية جمع غرب، و هو الدلو الكبيرة المملوءة و الثالثة جمع غرب و هي الو هاد المنخفضة. و قد عزا اللغويين وقوع المشترك إلى عدد من الأسباب من أهمها:
1. تداخل اللهجات.
2. التطور الصوتي لبعض الكلمات حتى تتطابق لفظتان في لفظة تدل على المعنيين لكل منهما أو يحدث فيهما أو في أحدهما قلب مكاني .
3. التطور المعنوي أي تغيير المعنى عن طريق المشابهة و الاستعارة و المجاز. من ذلك توسيع المعنى، أو تضييقه أو السببية فكلمة (الإثم) كان معناها الذنب، ثم أصبحت تطلق على الخمر لأنها سبب في الإثم.
أما المحدثون فقد بلوروا أنواع المشترك بما يلي:
1. معنى مركزي للفظ تدور في فلكه عدة معان فرعية.
2. تعدد المعنى نتيجة استعمال اللفظ في مواقف مختلفة.
3. دلالة الكلمة الواحدة على أكثر من معنى بسبب تطور المعنى.
4. وجود كلمتين تدل كل واحدة منهما على معنى ثم اتحاد صورتي الكلمتين في كلمة واحدة.
و ربما يتقارب النوعان الأول و الثاني، و نمثل لهما بكلمة (عنق) فالمعنى المركزي هو (الرقبة) ومن المعاني الهامشية عنق الزجاجة و عنق الوادي. أما النوع الثالث فقد سماه اللغويون (البوليزيمي) أو(كلمة واحدة ـ معنى متعدد) فكلمة (عملية) لا يفهم لها معنى محدد منعزلة عن السياق و يحدد لها معنى من المعاني حسب السياق أو الحقل فتكون عملية جراحية أو عسكرية أو اقتصادية. أما النوع الرابع و يسمى (الهومونيمي) فيمكن أن يمثل له بكلمة (قال) الفعل الماضي الذي يدل على معنى القول، أو الإقالة و يحدد ذلك صيغة المضارع، قال يقول أو قال يقيل . و قد يصعب الفصل أحيانا، في التفريق فيما إذا كان لدينا معنى مركزي تدور حوله معان أخرى، أو أن لدينا عدد من المعاني لكلمة واحدة مثال كلمة(يد) التي ترد في عدد من الاستعمالات:
- كسرت يد فلان
- يد الفأس.
- يد الطائر (جناحه)
- طويل اليد (سمح جواد أو سارق).
- يد الرجل (قومه أو أنصاره)
هناك نوعان من المجاز، أو لهما المجاز الحي الذي نشعر به و نلاحظه كقولنا أسد عن الرجل الشجاع و المجاز الميت أو الذي تنوسيت علاقته و انتقاله من الحقيقة فأصبح كأنه حقيقة مثل الكتابة لمعنى النسخ و أصل معناها الجمع، إذ هي جمع للحروف و الكلمات. نماذج من المشترك اللفظي من كتب بعض اللغويين القدماء (ينظر أحمد مختار عمر ص153)
عن كراع: العين: مطر يدوم خمسة أيام لا يقلع.
عين كل شيء: خياره
و عين القوم : ربيئتهم الناظر لهم
و عين الرجل: شاهده
و العين: عين الشمس.
عن أبي عبيدة: العين: الذهب
العين: عين الماء
العين: نفس الشيء
العين: النقد
العين: التي يبصر بها
عن أبي العميثل:
العين: النقد من دنانير و دراهم
العين: عين البئر و هو مخرج مائها
و العين: ما عن يمين القبلة
و العين: عين الميزان.
و أخيرا هناك من يرى أن المشترك كظاهرة هو مزية ايجابية في اللغة فهو:
1. يعد من خواص الأسلوب و يساعد الأدباء و الشعراء في فنهم.
2. أنه يخفف من حفظ الكلمات الكثيرة لجميع المعاني إذ يعبر بكلمة واحدة عن أكثر من معنى. و لكن ذلك ينقضه وجود الترادف. من المشترك اللفظي في القرآن هي :
أ) كلمة (أثر) وتتجه المادة إلى ستة معانٍ:
1ـ أثر الحديث والعلم يأثره من بابي ضرب ونصر نقله، وأصله تتبع الأثر، ومنه قوله تعالى ﴿ فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ ﴾ ، أي يُروى ويُنقل.
2ـ الأثارة بفتح الهمزة البقية من العلم تؤثر، ومنه ﴿ اِئْتُونِي بِكِتَابٍ مِنْ قَبْلِ هَذَا أَوْ أَثَارَةٍ مِنْ عِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ ﴾
3ـ وأثر الشيء ما يدل على وجوده، ومنه ﴿ فَانْظُرْ إِلَى آَثَارِ رَحْمَةِ اللَّهِ كَيْفَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ﴾
4ـ والأثر ما تتركه قدم السائر على الأرض ومنه ﴿ قَالَ هُمْ أُولَاءِ عَلَى أَثَرِي ﴾ ، أي في عقبي كأنهم يطئون أثره.
5ـ وآثره اختاره وفضله ومصدره إيثار، ومنه ﴿ قَالُوا تَاللَّهِ لَقَدْ آَثَرَكَ اللَّهُ عَلَيْنَا ﴾ ، وأشباهه في الأعلى والنازعات وطه والحشر.
6 ـ وأثار الأرض قلبها للزراعة، ومنه ﴿ وَأَثَارُوا الْأَرْضَ وَعَمَرُوهَا أَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا ﴾ ، أي قلبوها للزراعة.
ب) كلمة خلف:وقد بلغت صورها ست عشرة صورة:
1-خَلْف بفتح الخاء وسكون اللام ومعناها وراء « ظرف مكان »، ضد قدام، وشاهده ﴿ فَإِمَّا تَثْقَفَنَّهُمْ فِي الْحَرْبِ فَشَرِّدْ بِهِمْ مَنْ خَلْفَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ ﴾ ، أي فَرِّق عن معاداتك من ورائهم من الكفرة.
2- وبالوزن السابق أيضًا الجيل من الناس بعد الجيل، وشاهده ﴿ فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ﴾
3 وبالوزن عينه ومعناها من جاء بعدك، ﴿ فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آَيَةً ﴾

تنبيه: يُستثنى من الكلية السابقة قوله تعالى: ﴿ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا ﴾ ، فالمراد بها من أمامه ومن ورائه، ومثلها ﴿ لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ ﴾
5- قوله تعالى ﴿ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا ﴾ ، ومعناها تخلف الحكم في شأنهم حتى ينزل فيهم قرآن، وقد نزل القرآن فعلا بالتوبة عليهم، وهم كعب بن مالك ومرارة بن ربيعة العامري وهلال بن أمية الواقفي، أقول وقصة كعب مشهورة في كتب الحديث، وفيها تأثير وجاذبية معًا.
6- كل ما جاء من هذه المادة على أفعل إفعالا أخلف إخلافًا، فمعناه خلف الوعد ونقض العهد، ﴿ قَالُوا مَا أَخْلَفْنَا مَوْعِدَكَ بِمَلْكِنَا ﴾
7- وردت المفاعلة من هذه المادة في القرآن الكريم مرتين: مرة متعدية بحرف إلى، وذلك بعد تعديها إلى صريح المفعول به، ﴿ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ ﴾ ، والمعنى ما كنت لأنهاكم عن شيءٍ وأتجه إلى فعله كمالا أترك ما أمرتكم به، وأخرى تعدت بعن ﴿ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴾ ، أورد القرطبي ما نصه ( قال قتادة: أو معنى يخالفون عن أمره أي يعرضون عن أمره، وقال أبو عبيدة والأخفش: عن في هذا الموضع زائدة وقال الخليل وسيبيويه ليست بزائدة والمعنى يخالفون بعد أمره.
8- قوله تعالى: ﴿ وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا ﴾ ، قال الزمخشري أي يخلف أحدهما الآخر.
9- جمعت كلمة خليفة في القرآن على صورتين، الأولى فعائل ﴿ وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ ﴾ ، والثانية فُعلاء ﴿ وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ ﴾ ، فما سر الاختلاف؟ الجواب أجُمِعَتْ على فعائل باعتبار لفظها، وقد لحقته تاء المبالغة فصار مثل وسيلة ووسائل وكريمة وكرائم، وجمعت على فُعَلاء باعتبار أصلها "بغير تاء" ككريم وكرماء ونبيل ونبلاء وخليف فعيل بمعنى فاعل.
10- قوله تعالى: ﴿ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ ﴾ ، أي مع من تخلف من المنافقين.
11- قوله تعالى ﴿ رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ ﴾ ، جمع خالفة، أي مع النساء والصبيان وأصحاب الأعذار من الرجال.
12- قوله تعالى ﴿ وَإِذًا لَا يَلْبَثُونَ خِلَافَكَ إِلَّا قَلِيلًا ﴾ ، أي لا يمكثون بعدك إلى قليلا ثم يهلكهم الله.
13-قوله تعالى ﴿ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ ﴾ ، وهو ضد الوفاق، أي تقطع أيديهم اليمنى وأرجلهم اليسرى.
14- قوله تعالى ﴿ فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ ﴾ ، والمخلفون هم الذي تخلفوا عن غزوة تبوك.
15-قوله تعالى ﴿ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ ﴾ ، أي مخالفة رسول الله صلى الله عليه
وسلم، وهو مصدر كالجدال، ويُعرب مفعولا لأجله.
16- قوله تعالى ﴿ سَيَقُولُ الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انْطَلَقْتُمْ إِلَى مَغَانِمَ ﴾ ، والمخلفون هنا الذين تخلفوا عن نصرة رسول الله حين دعاهم إليها.
البحث الثاني : الترادف فى القرآن
إن كثيرا مما قيل عن المشترك يقال عن الترادف و لكن في وضع معكوس بالنسبة للمفهوم. فالترادف لغة هو التتابع ، وهو مصدر ترادف الذي يدل على الحدث دون الدلالة على الزمان وهذا المصدر مادته ردف الذي يدخل ضمن دلالتها الدلالة على التبعية و الخلافة ومن ذلك الردف الراكب خلف الراكب التابع . (ينظر : فريد عوض حيدر ، كتاب علم الدلالة دراسة نظرية وتطبيقية ، كلية دار العلوم جامعة القاهرة ، فرع الفيوم )
- رَدَفَه ورَدف له رَدْفًا تبعه وركب خلفه وصار له .
- وكل ما تبع شيئا فهو ردْفُه .
- ترادفت الكلمات تشابهت في المعنى .
وأما اصطلاحا فالمترادف هو ما اختلف لفظه واتفق معناه أو هو إطلاق عدة كلمات على مدلول واحد كالأسد و السبع و الليث التي تعني مسمى واحدا ، وهو أيضا كما عرفه الإمام الرازي : الألفاظ المفردة الدالة على شيء واحد باعتبار واحد. على أية حال فالترادف هو من مجالات دراسة المعنى، إذ أن لفظين أو عدد من الألفاظ تحمل دلالة واحدة أو تدل على معنى واحد أو متقارب بوجود بعض الفروق كما سيتبين .
موقف الباحثين من ظاهرة الترادف في العربية .
لقد ظهر الخلاف بين القدامى كما ظهر بين المحدثين العرب و الغربيين حول ظاهرة الترادف بين معترف بوجودها ومنكر لذلك. ولقد تعرض كثير من الدارسين لهذه الظاهرة من وجهة نظر القدامى ولكن قل منهم من تناولها من وجهة النظر اللغوية الحديثة، ورأينا أن نتعرض أولا إلى موقف القدامى من هذه الظاهرة ثم نتعرض بعدها لموقف المحدثين منها.
موقف القدامى من الترادف.
اختلف اللغويون العرب القدامى اختلاف واسعا في إثبات هذه الظاهرة أو إنكار وجودها في اللغة العربية حيث كانت هذه الظاهرة إحدى القضايا التي تناولها الباحثون و اللغويون القدامى.
الفريق الأول. يثبت الترادف ويغالي في إثباته ويتوسع فيه ومن هؤلاء ابن خالويه ( ت 370 هـ ) ويظهر رأيه من خلال تلك الرواية التي تذكر الخلاف الذي وقع بينه وبين أبي علي الفارسي حول أسماء السيف. وتعد هذه الرواية من أشهر الروايات حول الخلاف في ظاهرة الترادف في العربية ، حيث يروى أن أبا علي الفارسي قال " كنت بمجلس سيف الدولة بحلب وبحضرة جماعة من أهل اللغة ومنهم ابن خالويه فقال ابن خالويه أحفظ للسيف خمسين اسما فتبسم أبو علي الفارسي وقال : ما أحفظ له إلا اسما واحدا وهو السيف . قال ابن خالويه : فأين المهند و الصارم وكذا وكذا ، فقال أبو علي هذه صفات.
- تدل هذه الحادثة على أن ابن خالويه يثبت ظاهرة الترادف وأبو علي الفارسي ينكرها.
- ولقد ألف ابن خالويه كتابين في الترادف أحدهما في أسماء الأسد و الثاني في أسماء الحية.
ومن الذين أثبتوا الترادف أيضا مجد الدين الفيروزبادي صاحب القاموس المحيط الذي ألف كتابا في الترادف[ أسماه الروض المسلوف فيما له أسمان إلى ألوف ] . ومن هذا الفريق أيضا ابن جني حيث عبر عن ذلك في باب في استعمال الحروف بعضها مكان بعض واستدل على ذلك بوقوع الترادف فقال " وجدت في اللغة من هذا الفن شيئا كثيرا لا يكاد يحاط به " وفيه موضع يشهد على من أنكر أن يكون في اللغة لفظتان بمعنى واحد من تكلف لذلك أن يوجد فرقا بين قعد وجلس وبين ذراع وساعد .
الفريق الثاني . وهو الذي ينكر الترادف ويرفضه رفضا تاما ومن هؤلاء أبو علي الفارسي وذلك لما كان بمجلس سيف الدولة وكان بحضرة المجلس ابن خالويه عندما رد عليه كما ذكر آنفا وكذلك كان أبو عبد الله محمد بن زياد الأعرابي وأبو العباس أحمد بن يحي ثعلب وأبو محمد عبد الله بن جعفر درستويه . قال ابن درستويه : كذلك ذهب ابن فارس مذهب معلمه ثعلب فأنكر وقوع الترادف قائلا : " ويسمى الشيء الواحد بالأسماء المختلفة نحو السيف و المهند و الحسام و الذي نقوله في هذا أن الاسم واحد هو السيف وما بعده من الألقاب صفات
ومن المنكرين أيضا للترادف أبو هلال العسكري ( توفى سنة 395 هـ ) حيث قال : " فأما في لغة واحدة فمحال أن يختلف اللفظ و المعنى واحد، كما ظن كثير من النحويين و اللغويين ، وهو يقول أيضا : " الشاهد على أن اختلاف العبارات و الأسماء يوجب اختلاف المعاني أن الاسم كلمة تدل على المعنى دلالة الإشارة، وإذا أشير إلى الشيء مرة واحدة فإن معرفة الإشارة إليه ثانية وثالثة غير مفيدة ويؤيد ذلك ثعلب الذي يرى أن ما يظن من المترادفات هو من المتباينات ،كما يرى ابن فارس أن كل صفة من الصفات لها معنى خاص فالأفعال ( مضى ، ذهب ، انطلق ، ليست بمعنى واحد " .
ورغم أن أبا هلال العسكري كان من هذا الفريق الرافض للترادف المبالغ في رفضه في كتابه الفروق غير أنه في كتابين آخرين له نسي هذا المبدأ الألفاظ المترادفة بلا اعتراض عليها أو محاولة التفريق بينها. ويبدو أن كلا من الفريقين أسرف فيما ذهب إليه فالأول أسرف في إثبات الظاهرة و الثاني أسرف في البحث عن الفروق الدلالية بين الألفاظ .
أما الباحثون المحدثون فيمكن إيجاز موقفهم فيما يلي :
أولا : المثبتون للترادف من العرب المحدثين. يجمع المحدثون من علماء اللغات على إمكان وقوع الترادف في أي لغة من لغات البشر بل إن الواقع المشاهد أن كل لغة تشمل على بعض تلك الكلمات المترادفة، ولكنهم يشترطون شروطا معينة لابد من تحققها حتى يمكن أن يقال أن بين الكلمتين ترادفا وهذه الشروط هي :
1 - الاتفاق في المعنى بين الكلمتين اتفاقا تاما على الأقل في ذهن الكثرة الغالبة لأفراد البيئة الواحدة … فإذا تبين لنا بدليل قوي أن العربي كان حقا يفهم من الكلمة جلس شيئا لا يستفيده من كلمة قعد قلنا حينئذ ليس بينهما ترادف .
2 - الاتحاد في البيئة اللغوية أي أن تكون الكلمتان تنتميان إلى لهجة واحدة ومجموعة منسجمة من اللهجات وبذلك يجب ألا نلتمس الترادف من لهجات العرب المتباينة فالترادف بمعناه الدقيق هو أن يكون للرجل الواحد في البيئة الواحدة الحرية في استعمال كلمتين أو أكثر في معنى واحد يختار هذه حينا ويختار تلك حينا آخر وفي كلتا الحالتين لا يكاد يشعر بفرق بينهما إلا بمقدار ما يسمح به مجال القول (ينظر إبراهيم أنيس في اللهجات العربية ص177)ولم يتفطن المغالون في الترادف إلى مثل هذا الشرط بل اعتبروا كل اللهجات وحدة متماسكة وعدوا كل الجزيرة العربية بيئة واحدة. ولكنا نعتبر اللغة النموذجية الأدبية بيئة واحدة ونعتبر كل لهجة أو مجموعة منسجمة من اللهجات بيئة واحدة .
3 - الاتحاد في العصر فالمحدثون حين ينظرون إلى المترادفات ينظرون إليها في عهد خاص وزمن معين وهي تلك النظرة التي يعبرون عنها بالنظرة الوصفية لا تلك النظرة التاريخية التي تتبع الكلمات المستعملة في عصور مختلفة ثم تتخذ منها مترادفات . فإذا طبقت هذه الشروط على اللغة العربية اتضح لنا أن الترادف لا يكاد يوجد في اللهجات العربية القديمة، إنما يمكن أن يلتمس في اللغة النموذجية الأدبية .
أما المنكرون للترادف من المحدثين العرب فمنهم الدكتور السيد خليل و الدكتور محمود فهمي حجازي وله رأي معتدل حيث يقول : يندر أن تكون هناك كلمات تتفق في ظلال معانيها اتفاقا كاملا ومن الممكن أن تتقارب الدلالات لا أكثر ولا أقل. وأما المحدثون الغربيون فقد عرّفوا الترادف بأنه الحالة التي يكون فيها لصيغتين أو أكثر المعنى نفسه ، ومن أول المنكرين للترادف من الغربيين أرسطو " ويبدو ذلك من النص الذي نقله الدكتور إبراهيم سلامة من كتاب الخطابة لأرسطو حيث يقول : وكذلك الكلمة يمكن مقارنتها بالكلمة الأخرى ويختلف معنى كل منهما . ومن الذين أنكروا وجود الترادف من علماء اللغة الغربيين المحدثين " بلومفيلد " حيث يقول ليس هناك ترادف حقيقي .
وبعد النظر في هذه المواقف و الآراء المختلفة لدى الباحثين القدامى و المحدثين العرب و الغربيين نرى أنه من التعسف الشديد إنكار وجود الترادف في العربية وإيجاد معنى لكل اسم من أسماء الأسد أو السيف ، وغيرها مختلف عن غيره في بعض الصفات أو التفاصيل .فالترادف ظاهرة لغوية طبيعية في كل لغة نشأت من عدة لهجات متباينة في المفردات و الدلالة ،وليس من الطبيعي أن تسمي كل القبائل العربية الشيء الواحد باسم واحد وعليه نرى أن الترادف واقع في اللغة العربية الفصحى التي كانت مشتركة بين قبائل العرب في الجاهلية وكان من الطبيعي أن نقع على بعض الكلمات في القرآن الكريم لنزوله بهذه اللغة المشتركة (ينظر اميل بديع يعقوب، فقه اللغة العربية و خصائصها ص 175)
ولا بأس أن نذكر أو نذكّر أخيرا بأن هناك رأيا ظل سائدا قديما وحديثا وهو أن لا ترادف في العربية وأن هناك فروقا بين المعاني للألفاظ التي تبدو مترادفة ذكرها العلماء في مؤلفاتهم وأوردوا لها أمثلة ،من ذلك ما جاء في كتاب فقه اللغة للثعالبي (ارجع إلى هذا الكتاب) فهو يرى أن هزال الرجل على مراحل ، فالرجل هزيل ثم أعجف ثم ضامر ثم ناحل . و قد يدل على درجات الحالات النفسية المتفاوتة ، فالهلع أشد من الفزع ، و البث أشد من الحزن ، و النصب أشد من التعب و الحسرة أشد من الندامة . كما أورد أبو هلال العسكري في كتابه الفروق في اللغة ( ارجع إلى هذا الكتاب) أمثلة كثيرة ومتنوعة لهذه الفروق نذكر منها قوله :
- الفرق بين الصفة و النعت: أن النعت لما يتغير من الصفات، و الصفة لما يتغير ولا يتغير.
- و الفرق بين اللذة و الشهوة: أن الشهوة توقان النفس إلى ما يلذ، و اللذة ما تاقت إليه النفس .
- الفرق بين الغضب و الغيظ و السخط و الاشتياط: أن الغضب يكون على الآخرين وليس على النفس ، و الغيظ يكون من النفس ، و السخط هو الغضب من الكبير على الصغير وليس العكس ، أما الاشتياط: فهو تلك الخفة التي تلحق الإنسان عند الغضب .
- الفرق بين القد و القط: أن القد الشق طولا و القط هو الشق عرضا
- الفرق بين البخل و الشح: أن الشح هو بإضافة الحرص على البخل أي البخيل يبخل على الآخرين أما الشحيح فهو يبخل على الآخرين وعلى نفسه .
- الفرق بين السرعة و العجلة: أن السرعة التقدم فيما ينبغي وهي محمودة، ونقيضها الإبطاء وهو مذموم . و العجلة: التقدم فيما لا ينبغي ونقيضها الأناة، و الأناة محمودة ( في التأني السلامة و في العجلة الندامة )
- الفرق بين الفوز و النجاة: أن النجاة هي الخلاص من المكروه، و الفوز هو الخلاص من المكروه و الوصول إلى المحبوب.
و يمكن تلخيص أهم أسباب الترادف حسب رأي الباحثين بما يلي (و هذا يخص اللغة العربية دون غيرها)
1 - انتقال كثير من مفردات اللهجات العربية إلى لهجة قريش بفعل طول الاحتكاك بينهما وكان بين هذه المفردات كثير من الألفاظ التي لم تكن قريش بحاجة إليها لوجود نظائرها في لغتها مما أدى إلى نشوء الترادف في الأوصاف و الأسماء و الصيغ .
2 - أخذ واضعي المعجمات عن لهجات قبائل متعددة كانت مختلفة في بعض مظاهر المفردات، فكان من جراء ذلك أن اشتملت المعجمات على مفردات غير مستخدمة في لغة قريش ويوجد لمعظمها مترادفات في متن هذه اللغة .
3 - تدوين واضعي المعجمات كلمات كثيرة كانت مهجورة في الاستعمال ومستبدلاتها ( مفردات أخرى).
4 - عدم تمييز واضعي المعجمات بين المعنى الحقيقي و المعنى المجازي فكثير من المترادفات لم توضع في الأصل لمعانيها بل كانت تستخدم في هذه المعاني استخداما مجازيا (ينظر اميل بديع يعقوب، فقه اللغة العربية و خصائصها ص 177) .
5 - انتقال كثير من نعوت المسمى الواحد من معنى النعت إلى معنى الاسم الذي تصفه فالمهند و الحسام و اليماني من أسماء السيف يدل كل منها على وصف خاص للسيف مغاير لما يدل عليه الآخر .
6 - إن كثيرا من المترادفات ليس في الحقيقة كذلك، بل يدل كل منها على حالة خاصة من المدلول تختلف بعض الاختلاف عن الحالة التي يدل عليها غيره، فقد يعبر كل منها عن حالة خاصة للنظر تختلف عن الحالات التي تدل عليها الألفاظ الأخرى ف(رمق ) يدل على النظر بمجامع العين و" لحظ " على النظر من جانب الأذن و " حَدَجه " معناه رماه ببصره مع حدة و" شفن " يدل على نظر المتعجب الكاره و " رنا " يفيد إدامة النظر في سكون و هكذا.
7 - انتقال كثير من الألفاظ السامية و المولدة و الموضوعة و المشكوك في عربيتها إلى العربية وكان لكثير من هذه الألفاظ نظائر في متن العربية .
8 - كثرة التصحيف في الكتب العربية القديمة وبخاصة عند ما كان الخط العربي مجردا من الإعجام و الشكل .
9 - تعدد الواضع أو توسع دائرة التعبير وتكثير وسائله، وهو المسمى عند أهل البيان بالافتنان أو تسهيل مجال النظم و النثر وأنواع البديع، فإنه قد يصلح أحد اللفظين المترادفين للقافية أو الوزن أو السجع دون الآخر وقد يحصل التحسين و التقابل و المطابقة ونحو ذلك بهذا دون الآخر .
10 - استخدام دلالات متعددة للمدلول الواحد على سبيل المجاز.
11 - أصل الحدث أي الفعل الذي يقع في محدث ما يقع من غيره. فيرمز الأول باسم غير الثاني فالهمس .مثلا من الإنسان، و الهيس أيضا صوت أخفاف الإبل. و الهسهسة عام في كل شيء. وقد يكون الحدث واحدا في الحالات المختلفة ،فالخرير صوت الماء الجاري أما إذا كان تحت ورق فهو قسيب، فإذا دخل في مضيق فهو فقيق ،فإذا تردد في جرة فهو بقبقة.
الترادف يعني اشتراك لفظين أو أكثر في حمل معنى واحد باعتبار واحد أي أن يكونا من نوع واحد اسمين أو صفتين ليسا متغايرين، ولكن الترادف ليس مما يتفق العلماء على الإقرار به في لغتنا العربية الجميلة، فبعض العلماء من المتقدمين والمحدثين أقر به واعتبر تلك الألفاظ مؤدية لمعنى واحد كالأصمعي والفيروزأبادي صاحب القاموس المحيط. ومنهم من لا يرى ذلك كأبي منصور الثعالبي صاحب كتاب (فقه اللغة وأسرار العربية) وكأبي هلال العسكري الذي ترجم إنكار الترادف عمليا بتصنيف كتاب (الفروق في اللغة) ليؤكد من خلاله أن هذ الألفاظ ليست مترادفة، فهذا الفريق يؤمن بهذه الفكرة ويرى أن الأالفاظ التي يظن أنها مترادفة ليست كذلك حقيقة ، لكنها متقاربة، وهي تحمل فروقا دقيقة بينها لم تكن تخفى على أصحاب اللغة الذين كانت اللغة عندهم حسا وذوقا وفطرة ، والفصل في ذلك كله ينبغي أن يكون للقرآن الكريم ، فهو (كتاب العربية الأكبر) ، وهو الذي جاء في ذروة البلاغة العليا ، وهو الحاكم على اللغة المخصص للاستعمال، لم ينكره العرب أو يستنكروا شيئا منه، بل هو قد ارتقى بلغتهم وصار المهيمن عليها والحكم بينهم، ومن التأمل في مواطن ورود بعض الكلمات التي يقال بترادفها في القرآن الكريم نلحظ أن هناك فروقا بين تلك الكلمات ن وأنه لا يجوز أن تأخذ إحداها مكان الأخرى وإلا لضعف المعنى، سنتعرف الآن على بعض الأمثلة القرآنية لنرى تفريق القرآن في الاستعمال بين الألفاظ المتقاربة المعنى.
1- الرؤيا والحلم: يستعمل القرآن الكريم كلمة الرؤيا لما يكون حقا وصدقا.
يتجلى لنا ذلك بوضوح تام في رؤيا إبراهيم أنه يذبح ولده في سورة الصافات، وفي رؤيا يوسف التي تحققت بسجود والديه وإخوته له، وفي رؤية رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم في سورتي الإسراء والفتح كقوله تعالى: "لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَلِكَ فَتْحاً قَرِيباً" ـ ، وفي رؤيا الملك في سورة يوسف إذ قال" إِنِّي أَرَى سَبْعَ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعَ سُنْبُلاتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَاتٍ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي رُؤْيايَ إِنْ كُنْتُمْ لِلرُّؤْيا تَعْبُرُونَ . قَالُوا أَضْغَاثُ أَحْلامٍ وَمَا نَحْنُ بِتَأْوِيلِ الْأَحْلامِ بِعَالِمِينَ"
ونلاحظ من الآية الأخيرة بوضوح تام أن الملأ ردوا عليه بأنها (أحلام) ، وأنهم لا يعرفون تأويل الأحلام مما يقطع بأن الحلم يقصد به الهواجس المختلطة والصور المشوشة التي لا تصدق وقد ظنوا أن رؤيا الملك كذلك ، أما هو نفسه فقد عبر عنها بالرؤيا لأنها كانت واضحة جلية له، ولأن الله تعالى يعلم صدق وقوعها فاختار لها هذا اللفظ.
2- الخشية والخوف: فالخشية هي ما كان عن يقين صادق بعظمة من نخشاه وإن كنا أقوياء في عالمنا، أما الخوف قد يكون عن تسلط بالقهر والإرهاب، وقد يكون ناجما عن ضعف الخائف وإن كان المخوف أمرا يسيرا، وعلى هذا فالخشية أعلى مرتبة من الخوف لأنها ثمرة اليقين وصدق الانفعال الناجم عن ذروة الإجلال، والخشية في القرآن تكون من الله، وقد تقترن بالأمور العظيمة كالغيب والساعة واليوم الآخر، و(خشية الله منزلة رفيعا يختص بإدراكها فئة معينة من الناس هم العلماء وأولو العقول والألباب من المؤمنين والمتبعين للذكر ومن الذين رضي الله عنهم ورضوا عنه.
3- المطر والغيث: ويفرق القرآن الكريم في الاستعمال أيضا بين المطر والغيث ، فنرى المطر في مواطن العذاب ولانتقام كقوله تعالى في سورتي الشعراء والنمل: "وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَراً فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ" ، وقوله عز وجل في الأعراف: " وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَراً فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ" ، أما الغيث فيغلب وروده في مواطن الرحمة والخير المقترن بالبشرى والخصب والنماء، قال سبحانه: " وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ" . ويمتد الفرق بين الألفاظ إلى استعمال الجمع والمفرد منها، فلكل موضع يناسب المقام الذي يذكر فيه، فحين تُفرَد الرياح بالذكر فإنها تحمل العذاب كقوله تعالى في سورة القمر: "إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحاً صَرْصَراً فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. تَنْزِعُ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ" ، وفي سورة الإسراء "أَمْ أَمِنْتُمْ أَنْ يُعِيدَكُمْ فِيهِ تَارَةً أُخْرَى فَيُرْسِلَ عَلَيْكُمْ قَاصِفاً مِنَ الرِّيحِ فَيُغْرِقَكُمْ بِمَا كَفَرْتُمْ ثُمَّ لا تَجِدُوا لَكُمْ عَلَيْنَا بِهِ تَبِيعاً" أما إن جاءت الرياح بالجمع فإنها تدل على الرحمة والبركة ، أو مبشرة بنعمة تأتي من بعد كالغيث والإخصاب ، قال عز وجل: "وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِين" ، وقال أيضا: "وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَته" .
4- الريب والشك: دأب المفسرون على تعريف أحدهما بالآخر، والحقيقة أن بينهما تقاربا في المعنى يسوغ ذلك ، ويسوغ له أن ألفاظ العربية ـ حسب المنكرين للترادف ـ لا يمكن أن يحل أحدها مكان الآخر، فالريب والشك بينهما فروق في المعنى، وأكثر ما يؤكد الفرق بينهما أن الريب جاء وصفا للشك في عدة مواقع من القرآن الكريم، كقوله : " وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ فَاخْتُلِفَ فِيهِ وَلَوْلا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مُرِيبٍ " هود. وقوله تعالى في سبأ: " وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ كَمَا فُعِلَ بِأَشْيَاعِهِمْ مِنْ قَبْلُ إِنَّهُمْ كَانُوا فِي شَكٍّ مُرِيبٍ" ، والشيء لا يوصف بنفسه ولكن يوصف بوصف يقاربه معنى، وهذا يؤكد قول المنكرين للترادف الباحثين عن الفروق. فالشك هو التداخل الداعي إلى الغموض وعدم استبانة الأمور، والتردد. أما الريب فهو شك مع تهمة مصحوبة بقلق النفس واضطرابها، والشك المريب هو التردد الموقع في القلق والاضطراب.
البحث الثالث : الأضداد فى القرآن
أ- مفهوم التضاد في اللغة.
التضاد أن يطلق اللفظ الواحد على المعنى وضدِّه. وهو فرع من المشترك اللفظي أي اللفظ الذي له أكثر من دلالة، غير أنَّ اللفظ من الأضداد له معنيان أحدهما نقيض الآخر، أي أنَّ الاختلاف بينهما اختلاف تضاد لا اختلاف تنوع وتغاير كما هي الحال في المشترك اللفظي. قال أحمد ابن فارس (ت395هـ): "ومن سنن العرب في الأسماء أنْ يسمُّوا المتضادَّين باسم واحد، نحو (الجون) للأسود و(الجون) للأبيض. وأنكر ناس هذا المذهب، وأنَّ العرب تأتي باسم لشيء وضدِّه. وهذا ليس بشيء، وذلك أنَّ الذين رَوَوا أنَّ العرب تسمي السيف مهنَّداً والفرس طِرْفَا، هم الذين رَوَوا أنَّ العرب تُسمِّي المتضادَّين باسم واحد ".
ب- بعض ألفاظ الأضداد في القرآن الكريم:
إنَّ من أهم الأسباب التي دفعت اللغويين إلى التأليف في الأضداد، هو ورود طائفة منها في القرآن الكريم، وقد صرح بذلك أبو حاتم السجستاني (ت نحو 255هـ) في مقدمة كتابه في الأضداد، حيث قال: " حَمَلَنا على تأليفه أنَّا وجَدْنا من الأضداد في كلامهم والمقلوب شيئاً كثيراً، فأوضحنا ما حضر منه إذ كان يجيء في القرآن (الظن) يقيناً وشكاً، و(الرجاء) خوفاً وطمعاً، وهو مشهور في كلام العرب… فأرَدْنا أنْ يكون لا يرى من لا يعرف لغات العرب أنَّ الله عزَّ وجل حين قال: ( وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الخَاشِعِينَ، الَّذِينَ يَظُنُّونَ…) ، مدَحَ الشاكِّين في لقاء ربهم وإنما المعنى: (يستيقنون)، وكذلك في صفة من أُوتي كتابه بيمينه من أهل الجنة: ( هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ، إِنِّي ظَنَنتُ..) يريد: (إنِّي أيقنت)، ولو كان شاكاً لم يكن مؤمنا، وأما قوله: ( قُلْتُم مَّا نَدْرِي مَا السَّاعَةُ إِن نَّظُنُّ إِلاَّ ظَناًّ ) فهؤلاء شُكَّاكٌ كفارٌ.
ويرى أكثر الدارسين من اللغويين أنَّ الدفاع عن ظاهرة التضاد الدلالي في اللغة العربية والاهتمام بها من قبل اللغويين القدامى، كان لغرض الدفاع عما ورد منها في القرآن الكريم، ومن أجل الرد على الشعوبيين الذين كانوا يُزرون بالعرب، ويصمون لغتهم بالعجز عن التعبير بشكل واضح، والافتقار إلى الدقة، وقد أشار إلى هؤلاء ابن الأنباري في مقدمة كتابه في الأضداد فقال: " ويظن أهل البدع والزيغ والإزراء بالعرب، أنَّ ذلك كان منهم، لنقصان حكمتهم وقلة بلاغتهم، وكثرة الالتباس في محاوراتهم، عند اتصال مخاطباتهم ". ويرد على هؤلاء بقوله: إنَّ " كلام العرب يصحح بعضه بعضاً ويرتبط أوله بآخره، ولا يعرف معنى الخطاب منه إلا باستيفائه واستكمال جميع حروفه، فجاز وقوع اللفظة الواحدة على المعنيَين المتضادَّين، لأنَّها تتقدمها ويأتي بعدها ما يدل على خصوصية أحد المعنيَين دون الآخر، ولا يراد بها في حال التكلم والإخبار إلا معنى واحد ". فهو يؤكد أنَّ مردَّ الأمر في مسألة الأضداد في اللغة، إلى سياق الكلام وارتباط أوله بآخره، وإلى قرائن الحال التي يكون فيها الناس في لحظة التخاطب.
فالدفاع عن ظاهرة الأضداد في اللغة العربية دفاع بالضرورة عما ورد منها في القرآن الكريم كذلك. وقد أثير نقاش واسع في مسألة الأضداد في القرآن الكريم لدى أهل اللغة، بين منكر ومثبت لوجودها فيه، وبين موسِّع ومضيق لمفهومها وشرطها.
وسوف نحاول أنْ نستجلي حقيقة الأمر في شأنها، من خلال دراسة بعض تلك الألفاظ القرآنية التي قيل إنَّها من الأضداد وما ذكره لها أهل اللغة والمفسرون من دلالات، وأنْ نتبيَّن الأثر الذي تركته تلك الألفاظ في معاني الآيات القرآنية. ومما ينبغي التنبيه إليه أنَّ أكثر تلك الألفاظ قد جاء في القرآن الكريم بأحد معنييه الضدَّين ولم يأت بالمعنى الآخر، إمَّا لأنه لم يَرِد إلا مرة واحدة في القرآن، أو لأنَّ القرآن قد استعمله في إحدى دلالتَيه دون الأخرى.وبعض تلك الألفاظ قد فُسِّر بالوجهَين الضِّدين معاً، وهي أقل من النوع الأول. وسوف نتناول بالدراسة مجموعة منتخبة من تلك الألفاظ من النوعين، مرتبة على هجاء الحروف.
1- أقوى: من (المقوين) في قوله تعالى: ( نَحْنُ جَعَلْنَاهَا تَذْكِرَةً وَمَتَاعاً لِّلْمُقْوِينَ ) . قال الأصمعي: " والمقوي الذي لا زاد معه ولا مال، يقال: قد أقوت الدار من أهلها أي خلت، يقال: بات فلان القواء. أي: لا طعام عنده، قال الله عز وجل: (وَمَتَاعاً لِّلْمُقْوِينَ) ، وفي موضع آخر: المقوي: الكثير المال… والمقوي الذي له دابة قوية وظهر قوي ". وقال ابن السكيت كقوله. وقال أبو حاتم السجستاني: " رجل مقوٍ، أي: قوي الإبل مليء… والمقوي أيضاً الضعيف، قال تعالى في القـرآن: (نَحْنُ جَعَلْنَاهَا تَذْكِرَةً وَمَتَاعاً للْمُقْوِينَ) . قال النابغة:
يا دارَ ميَّةَ بالعلياء فالسندِ # أقْوَتْ وطال عليها سالف الأبدِ
أي: خلت وذهب أهلها ".فالمقوي عند الأصمعي هو من لا زاد معه ولا مال، أي: الضعيف الفقير. وضد هذا المعنى عنده هو الرجل القوي الكثير المال. وأما ما ذهب إليه السجستاني من أنَّ (المقوي) تعني الرجل صاحب الإبل القوية، وتأتي بمعنى الرجل الضعيف، فليس ثمة تضاد بين المعنيَين، فتكون هذه اللفظة على قوله من المشترك اللفظي بمعناه العام وليس من الأضداد. هذه أقوال أهل اللغة، أما المفسرون فقالوا: إن (المقوين) تعني المسافرين قاله ابن عباس. وقال مجاهد: (ومتاعاً للمقوين) للمستمتعين المسافر والحاضر. وفي رواية أخرى عنه، قال: " (للمقوين) المستمتعين بها من الناس أجمعين في الطبخ والخبز والاصطلاء والاستضاءة، ويتذكر بها نار جهنم فيستجار بالله منها ".
وقد رجح الطبري قول ابن عباس فقال: " وأولى الأقوال في ذلك بالصواب عندي قول من قال عنى بذلك المسافر الذي لا زاد معه ولا شيء له، وأصله من قولهم: أقوت الدار إذا خلت من أهلها وسكانها… وقد يكون المقوي ذا الفرس القوي وذا المال الكثير في غير هذا الموضع ".
والذي أرجحه أنَّ المقوي هو المسافر؛ لأنَّ اللفظ مأخوذ من أقوت الدار، أو لأن المسافر ينزل القيَّ أو القواء وهي الأرض القفر التي لا أنيس فيها. وقد قال بعض المفسرين: وخص المسافر بالانتفاع بالنار، لأنَّ انتفاعه بها أكثر من منفعة المقيم، لأنَّ أهل البادية لابد لهم من النار يوقدونها ليلاً لتهرب منهم السباع، وفي كثير من حوائجهم.وإذا صحَّ هذا المعنى فإنَّ القول إنَّ هذه اللفظة من الأضداد فيه نظر، لأنَّ المقيم هو المعنى الضد للمسافر، أما المعاني التي ذكرت على أنَّها أضداد لهذا المعنى فليس فيها ما يحمل معنى الضدية.
2- خفا: عدَّ أهل اللغة هذه اللفظة من الأضداد، قال الأصمعي: " وأخفيت الشيء كتمته وأخفيته: أظهرته، وفي القرآن: ( إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا ) أي: أظهرها ". قال السجستاني: " وأما من قرأ (أخفِيها ففتح الألف فذلك معروف في معنى أظهرها، ومن ذلك قول امرئ القيس يذكر فرساً جرى جرياً أخرج الحشرات من أنفاقها:
خَفَاهُنَّ من أنفاقهنَّ كأنَّما # خفاهنَّ ودقٌ من عشيٍّ مُجَلَّب "
وما ذكره المفسرون في معنى هذه اللفظة على القراءة المشهورة لا يتفق مع ما قاله أهل اللغة، فقد رُوِيت عن ابن عباس روايات مختلفة في تفسير هذه الآية، وكلها تتضافر على أنَّ معنى أخفيها: أكتمها فلا يطلع عليها أحد، خلافاً لما قاله أهل الأضداد من أنها أفادت ضد معناها وهو (أظهرها).ومما قاله ابن عباس في قوله: (أَكَادُ أُخْفِيهَا) قال: أي لا أظهر عليها أحداً غيري.
وفي رواية أخرى قال: معناه لا تأتيكم إلا بغتة(. وقال مجاهد: إنَّ معنى الآية أكاد أخفيها من نفسي.وهذه الأقوال كلها تدل على أنَّ معنى (أخفيها) هو المعنى المعهود لها أي: الستر والكتمان، فليس ثمة ما يوحي بوجود تضاد في دلالات هذه اللفظة. ويبدو أنَّ من ذهب إلى أنَّها من ألفاظ الأضداد حملها على القراءة الثانية للآية بفتح الهمزة (أَخفيها)، وهي قراءة غير مشهورة. ومعناها: أزيل خفاءَها.
وقد ردَّ الطبري قول من قال إنَّ معناها: أظهرها، كما ردَّ القراءة بفتح الهمزة، ورجَّح ما ذهب إليه ابن عباس ومجاهد من أنَّ معناها: أسترها، فقال: " والذي هو أولى بتأويل الآية من القول، قول من قال معناه: أكاد أخفيها من نفسي لأنَّ تأويل أهل التأويل بذلك جاء، والذي ذكر عن سعيد بن جبير من قراءة ذلك بفتح الألف قراءة لا أستجيز القراءة بها لخلافها قراءة الحجة التي لا يجوز خلافها فيما جاءت به نقلاً مستفيضاً، فإن قال قائل، لِمَ وجهت تأويل قوله: (أكاد أُخفيها) -بضم الألف- إلى معنى أكاد أخفيها من نفسي، دون توجيهه إلى معنى: أكاد أظهرها، وقد علمت أنَّ للإخفاء في كلام العرب وجهين أحدهما الإظهار والآخر الكتمان، وأنَّ الإظهار في هذا الموضع أشبه بمعنى الكلام، إذ كان الإخفاء من نفسه يكاد يكون عند السامعين أنْ يستحيل معناه، إذ كان محالاً أنْ يخفي أحد عن نفسه شيئاً هو به عالم، والله تعالى ذكره لا يخفى عليه خافية؟ قيل: الأمر في ذلك بخلاف ما ظننت، وإنما وجهنا معنى أُخفيها -بضم الألف- إلى معنى أسترها من نفسي لأنَّ المعروف من معنى الإخفاء في كلام العرب الستر. يقال: قد أخفيت الشيء إذا سترته، وأنَّ الذين وجَّهوا معناه إلى الإظهار اعتمدوا على بيت لامرئ القيس بن عابس الكندي:
فإنْ تدفنوا الداء لا نُخْفِه # وإنْ تبعثوا الحربَ لا نقعدِ
بضم النون من (لا نُخفه) ومعناه: لا نظهره، فكأنَّ اعتمادهم في توجيه الإخفاء في هذا الموضع إلى الإظهار على ما ذكروا من سماعهم هذا البيت على ما وصفت من ضم النون من نُخفه. وقد أنشَدَنِي الثقة عن الفراء: (فإنْ تدفنوا الداء لا نَخْفِه) -بفتح النون- من (نخفه) من خفيته أَخفيه وهو أولى بالصواب، لأنه المعروف من كلام العرب، فإذا كان ذلك كذلك، وكان الفتح في الألف من (أخفيها) غير جائز عندنا لما ذكرنا، ثبت وصح الوجه الآخر وهو أنَّ معنى ذلك: أكاد أسترها من نفسي.
فلا حجة بعد قول ابن عباس ومجاهد وقول الطبري هذا لمن يزعم أنَّ تلك اللفظة جاءت في الآية بضد معناها المعروف، إلا على قراءة من قرأها بفتح الهمزة، لأنَّ اختلاف بناء الكلمة من الممكن أنْ يتبعه اختلاف في دلالتها. ولم يختلف أهل اللغة ولا المفسرون في أنَّ (خفا) قد دلت على الستر والكتمان في قوله تعالى: ( وَإِن تُبْدُوا مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللَّهُ ) وفي قوله تعالى: ( قُلْ إِن تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ) لأنَّ السياق كان حاسماً في توجيه دلالة اللفظة إلى معنى الكتمان والتغطية.
3- رجا: عَدَّ أهل اللغة (رجا) من ألفاظ الأضداد، فقد قال الأصمعي: «ويقال: ما رجوت فلاناً، أي ما أمَّلته، وما رجوته، أي ما خفته، وقال الله جل وعز: ( مَا لَكُمْ لاَ تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَاراً ) ، أي لا تخافون لله عظمة.." وقال السجستاني: " والرجاء يكون طمعاً ويكون خوفاً، وفي القرآن في معنى الطمع: ( وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ) ، وقوله تعالى: ( وَمَا كُنتَ تَرْجُو أَن يُلْقَى إِلَيْكَ الكِتَابُ إِلاَّ رَحْمَةً مِّن ربِّكَ) ، وقوله تعالى: ( وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِّن ربِّكَ تَرْجُوهَا ) … والرجاء في القرآن في معنى الخوف كثير، قال تعالى: (فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ) ، و( قَالَ الَّذِينَ لاَ يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ) ، وقوله تعالى: ( وَارْجُوا اليَوْمَ الآخِرَ ) ، وهو كثير.
وقد تقلبت دلالات هذه اللفظة عند المفسرين بين دلالتي الخوف والطمع، وقد أشار إلى معنى الخوف ابن عباس في تفسير قوله تعالى: ( مَا لَكُمْ لاَ تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَاراً ) فقال: أي مالكم لا تعظمون الله حق عظمته، وقال مجاهد: أي مالكم لا تبالون عظمة ربكم. والرجاء: الطمع والمخافة.
وجاءت بمعنى (الطمع) في قوله تعالى: ( وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِّن ربِّكَ تَرْجُوهَا ) ، قال ابن عباس: ابتغاء رزق(، وقال مجاهد: انتظار رزق الله عز وجل. ويبدو لي أنَّ عدَّ (الرجاء) من ألفاظ الأضداد فيه شيء من التجوز والتوسيع لمفهوم التضاد وإنما هو من المشترك اللفظي، لأن الخوف والطمع ليسا متضادين في حقيقة الأمر، فالخوف ضده التجلد والشجاعة، والطمع ضده اليأس وانقطاع الأمل، فليس ثمة تضاد بين المعنيين.
4- سجر: قال أهل اللغة: إن (المسجور) من ألفاظ الأضداد، وتعني الفارغ والملآن معاً، واستدلوا بقوله تعالى: ( وَالْبَحْرِ المَسْجُور ِ) ، وقوله: ( وَإِذَا البِحَارُ سُجِّرَتْ) ، قال الأصمعي: " ويقال: المسجور: المملوء، والمسجور: الفارغ، قال الله جل وعز: (وَإِذَا البِحَارُ سُجِّرَتْ) أي: فُرِّغ بعضها في بعض، وحكى أبو عمرو: سجر السيلُ الفراتَ، والنهرَ والصنعةَ يسجرها سجراً إذا ملأها، والبحر المسجور الملآن… ويقال: هذا ماء سجر إذا كان ماء بئر قد ملأها السيل.
وقال أبو حاتم السجستاني: " وقالوا: المسجور المملوء… وقال بعضهم المسجور الفارغ، بلغني ذاك ولا أدري ما الصواب، ولا أقول في (البحر المسجور) شيئاً ولا (وإذا البحار سجرت) لأنه قرآن فأنا أثق به، وقالوا: قالت جارية بالحجاز: إن حوضكم لمسجور. ولم تكن فيه قطرة، قال أبو حاتم: يمكن أن يكون هذا على التفاؤل، كما يقال للعطشان: ريان، وللملدوغ: السليم.
هذا قول أهل اللغة، أمَّا المفسرون فقد اختلفوا في معنى (المسجور) في قوله تعالى: (وَالْبَحْرِ المَسْجُورِ) فقال بعضهم: المسجور المُوقَد كالتنور المسجور، ونقل هذا القول عن مجاهد وبعض المفسرين الأوائل وقال قتادة: المسجور المملوء. وروى الطبري قولين لابن عباس في معنى المسجور، أحدهما: أنه البحر الذي قد ذهب ماؤه. فكأنه يريد أن معناها الفارغ.
والثاني قوله: إن معناها: (المحبوس) فكأنه يريد أن (البحر المسجور) هو الممتلئ. وهذان القولان يدلان على إحساس ابن عباس أن هذه اللفظة من الأضداد وأنها تحتمل المعنيين معاً، ولكن ليس ثمة قرينة تقطع بأن المراد هذه الدلالة أو تلك لذلك فقد تردد كلامه بين الدلالتين.
وقد رجَّح الطبري القول الثاني منهما وهو أنَّ (المسجور) معناها (الممتلئ) وذلك بقرينة عقلية حيث قال: " وأولى الأقوال في ذلك عندي بالصواب قول من قال معناه: والبحر المملوء المجموع ماؤه بعضه في بعض، وذلك أن الأغلب من معاني السجر الإيقاد كما يقال: سجرت التنور بمعنى أوقدت… فإذا كان ذلك الأغلب من معاني السجر وكان البحر غير موقد اليوم، وكان الله تعالى ذكره قد وصفه بأنّه مسجور، فبطل عنه إحدى الصفتين وهو الإيقاد، صحت الصفة الأخرى التي هي له اليوم وهو الامتلاء لأنه كل وقت ممتلئ ".
وأما قوله تعالى: (وَإِذَا البِحَارُ سُجِّرَتْ)، فقد قال ابن عباس في تفسيرها: تُسْجَرُ حتى تصير ناراً ،وقال محمد بن السائب الكلبي (ت146هـ) وهو أحد الذين أكثروا من الرواية عن ابن عباس: إنَّ معنى (سُجّرت) مُلئت. ألا ترى أنه قال: (وَالْبَحْرِ المَسْجُورِ).
وقد يفهم من هذين القولين أن معنى (سُجّرت) عند ابن عباس في هذا الموضع ملئت لهباً. يقوي ذلك أيضاً قول مجاهد إن معناها: أُوقدت، وقول عكرمة: إن معناها أفيضت. وهذا القول دال على الامتلاء دون غموض. فهذه الأقوال تكاد تتفق على أنها تعني الامتلاء. وقال آخرون ومنهم الحسن البصري وقتادة: إن معنى (سجرت) ذهب ماؤها ويبست فلم يبق فيها قطرة(.
واختلاف هذه الأقوال وترددها بين معنيين متضادين في تأويل هذه اللفظة والتي قبلها يدل على إحساس المفسرين أنها من ألفاظ الأضداد، وأنها تحتمل الدلالتين المتعارضتين معاً، ولكن ليس لديهم القرائن الكافية التي ترجّح هذه الدلالة على تلك. وقد رجح الطبري القول الأول من هذه الأقوال، أي: (ملئت) واستدل له بقرينة من السياق القرآني في موضع آخر، وهو قوله تعالى: ( وَإِذَا البِحَارُ فُجِّرَتْ ) الانفطار:3] فقال: " وأولى الأقوال في ذلك بالصواب قول من قال: معنى ذلك ملئت حتى فاضت فانفجرت وسالت، كما وصفها الله به في الموضع الآخر فقال: (وَإِذَا البِحَارُ فُجِّرَتْ)، والعرب تقول للنهر أو للركي المملوء: ماء مسجور، ومنه قول لبيد:
فتوسَّطا عرض السَّريِّ وصَدَّعا # مسجورةً مُتجاوراً قُلاَّمُها
ويعني بالمسجورة المملوءة ماء ". وهذا الأثر الواضح الذي تركته هذه اللفظة في معنى الآيتين، يدل على أنَّها تنتمي إلى ألفاظ الأضداد حقاً، وليس ترددُ المفسرين بين معنييها إلا دليلاً على ذلك، فلا مجال إذن لإنكار وجود هذا النوع من الألفاظ في اللغة أو في القرآن الكريم.
5- سَرَّ: وقد ذكر مؤلفو كتب الأضداد أن (أسرَّ) من ألفاظ الأضداد، قال الأصمعي:
" ويقال: أسررت الحديث كتمته وأسررته أظهرته، قال الشاعر وهو الفرزدق:
فلما رأى الحجاجَ جرَّد سيفَه # أسَرَّ الحروريُّ الذي كان أضمرا
وقال الله جلّ ثناؤه: ( وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا العَذَابَ ) أي أظهروها ". وقال السجستاني: " وقال أبو عبيدة: أسررت الشيءَ أخفيته وأظهرته أيضاً، وكان يقول في هذه الآية: (وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا العَذَابَ) أظهروها، ولا أثقُ بقوله في هذا والله أعلم، وقد زعموا أن الفرزدق قال: فلما رأى الحجاج.. (البيت).
ولا أثق أيضاً بقول الفرزدق في القرآن، ولا أدري لعلّه قال: الذي كان أظهرا أي كتم ما كان عليه.."( ولم أقف على قول أبي عبيدة المذكور في كتابه (مجاز القرآن) ، إلا أنْ يكون قد ذكره في كتاب آخر له لم يصلنا، وقال أبو عبيدة في تفسير قوله تعالى: ( وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا ) : " أسروا من حروف الأضداد أي أظهروا " وجاء في (اللسان): " قال شمر: لم أجد هذا البيت للفرزدق، وما قال غير أبي عبيدة في قوله: (وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ)، أي أظهروها، قال: ولم أسمع ذلك لغيره. قال الأزهري: وأهل اللغة أنكروا قول أبي عبيدة أشدَّ الإنكار، وقيل: أسروا الندامة… أخفوها، قال الزجاج: وهو قول المفسرين ".
وقد ذكر أبو الطيب اللغوي أن ابن عباس كان يقول: (وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ) أي: أخفوها في أنفسهم. وقال الفراء في تفسيرها: (وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ): " يعني الرؤساء من المشركين أسرُّوها من سفلتهم الذين أضلوهم، فأسروها أي أخفوها " ولم يذكر أنها من الأضداد. أما الآية الثانية، وهي قوله تعالى: ( وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا ) ، فلم أجد فيها قولاً لابن عباس أو مجاهد، وأكثر المفسرين على أن معنى (أسروا) أخفوا، قال الفراء: " وإنما قيل: (وأسروا) لأنَّها للناس الذين وصِفوا باللهو واللعب. وقال الزمخشري: " فإن قلت: النجوى… لا تكون إلا خفية، فما معنى قوله: (وأسروا)؟ قلت: معناه وبالغوا في إخفائها أو جعلوها بحيث لا يفطن أحد لتناجيهم ولا يعلم أنهم متناجون ". وبناء على ما تقدم فإنّه يمكننا القول: إنَّ نسبة هذه اللفظة إلى الأضداد هي موضع شك، ومما يقوي هذا الشك في انتمائها إلى الأضداد، أنه لا يوجد أثر لمعانيها التي قيل إنها متضادة في تفسير الآيات، حيث لم يذكر الثقات من المفسرين إلا المعنى المعروف لها وهو الإخفاء والكتمان.
6- شَرى: قال أهل اللغة إنَّ (شَرَى) من الأضداد، وهي تعني البيع والشراء معاً. قال الأصمعي: " شراه ملكه بالبيع وأيضاً باعه، فمن الشراء بمعنى البيع قول الكتاب العزيز: ( وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ) أي: يبيعها وقوله تعالى: ( وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ ) ".
وقال السجستاني: " وقالوا: شريت الشيء بعته واشتريته، وبعته أوضح الوجهين، وفي القرآن: ( الَّذِينَ يَشْرُونَ الحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآخِرَة ) ، و ( مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ) : يبيعها، ومن ذلك سمي الشاري والشراة من الخوارج".
ولم أجد في معنى (الشراء) في الآية الأولى، [البقرة:207]، قولاً لابن عباس أو تلميذه مجاهد. وقال أبو عبيدة: يشري نفسه: يبيعها. وقال السُّدِّي في تأويل قوله تعالى: ( وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ) بئس ما باعوا به أنفسهم ولم يرد فيها قول لابن عباس أو مجاهد أيضاً. أما قوله تعالى: (وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ) فقد قال ابن عباس: أي فباعه إخوته بثمن بخس( وقال مجاهد: باعوه باثنين وعشرين درهماً. ولم تأتِ (شرى) في القرآن الكريم بدلالتها الثانية وهي اشتر.
7- صرخ: قال أهل اللغة: (الصريخ) هو المستغيث والمغيث، ومنه قوله تعالى: ( فَلاَ صَرِيخَ لَهُمْ )[يس:43]، أي: لا مغيث لهم. ومنه قول العرب: عبد صريخُهُ أَمَةٌ. أي مُغيثه(وهو مثل يضرب للذليل يستعين بمن هو أذل منه. قال أبو الطيب اللغوي: وأصل الصراخ رفع الصوت ويبدو أن هذا اللفظ قد عممت دلالته على جهة الاتساع في الكلام، ليشمل كل صارخ، سواء أكان الصارخ مغيثاً أم مستغيثاً، والمعنى المشترك بين المعنيين هو الصراخ: " لأن المغيث يصرخ بالإغاثة والمستغيث يصرخ بالاستغاثة، فأصلهما من باب واحد ".
وقد أجمع أهل التفسير أيضاً على أن (الصريخ) في الآية المذكورة هو المغيث والمنقذ ولم يُؤثَر عن ابن عباس أو مجاهد قول في تأويل هذه الآية.
ويبدو أن السياق اللغوي هو الذي وَجّه تأويل اللفظة إلى تلك الدلالة، يُستدلّ على ذلك بقوله تعالى: ( وَإِن نَّشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلاَ صَرِيخَ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يُنقَذُونَ ) ، فالمعهود أن الغريق هو الذي يصرخ طلباً للغوث والإنقاذ. ولم تأت هذه اللفظة في القرآن الكريم إلا بهذه الدلالة، أي: (المغيث) ولم تأت بالدلالةِ الثانية لها وهي (المستغيث) في القرآن الكريم كله.
8- صرم: قال أهل اللغة: إن (الصريم) من ألفاظ الأضداد، وهو يعني الصبح والليل معاً. قال السجستاني: " والصريم: الليل إذا تَصَرَّم من النهار، والنهار إذا تصرم من الليل.." وقال الأصمعي: " ومن الليل قول الله تعالى: ( فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ ) ، أي: كالليل ".
وقال أبو الطيب اللغوي: " قالوا: وفي قول الله عز وجل: (فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ) يجوز أن يكون أراد المصروم. ويجوز أن يكون أراد الليل المظلم، قال قطرب: وأحسبه قول ابن عباس. وأنشدوا لابن حُمَيِّر تَوْبَة:
عَلامَ تَقولُ عاذلتي تلومُ # تؤرقني إذا انجابَ الصريمُ
يعني الليل ". وقد اختلف المفسرون في المراد بـ(الصريم) في الآية المذكورة، فقال بعضهم: عنى به الليل الأسود البهيم، وقال آخرون: هي أرض باليمن تسمى الصريم، وروى الطبري عن ابن عباس أنه قال: الصريم الليل. والذي يظهر أن الصواب ما قاله ابن عباس، لأن أصدق وصف لتلك الجنة التي دمرها الله سبحانه بسبب عزم أصحابها على منع المساكين من ثمرها أن توصف بعد الخراب الذي حلَّ بها بأنها أصبحت محترقة كالليل المسود قال ابن قتيبة: " (فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ)، أي: سوداء كالليل، لأن الليل ينصرمُ عن النهار، والنهار ينصرم عن الليل "، ولم ترد هذه اللفظة في غير هذا الموضع من القرآن الكريم.
9- عَسْعَس: قال أهل اللغة: " عَسْعَسَ الليلُ إذا أقبلَ وعسعس أدبر... وقال بعضهم: إذا ولى". ونقل السجستاني عن أبي عبيدة أنَّه فسر قوله تعالى: ( وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ ) بقوله: عسعس أقبلَ ويقال أدبرَ. وما جاء في (مجاز القرآن) لا يؤكد نسبة هذا القول إلى أبي عبيدة، لأنَّ أبا عبيدة نفسه نقل كلام بعض أهل اللغة في معنى (عسعس الليل) فقال: " قال بعضهم إذا أقبلت ظلماؤه، وقال بعضهم: إذا ولّى، ألا تراه قال: (وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ) .
قال السجستاني: " قد تَقَلّد أبو عبيدة أمراً عظيماً، ولا أظن هاهنا معنى أكثر من الاسوداد. عسعس: أظلم واسودَّ في جميع ما ذكر، وكل شيء من ذا الباب في القرآن فتفسيره يُتَّقَى، وما لم يكن في القرآن فهو أيسر خطباً. وقد رد أبو الطيب اللغوي قول السجستاني: إنَّ معنى (عسعس) أظلم واسودّ فقال: " وليس الأمر كما ظن، فقد أنشد قطرب لعلقمة بن قُرْط التيميّ:
حتى إذا الصبحُ لها تنفَّسا # وانجاب عنها ليلُها وعَسْعسا
فهذا لا يحتمل أن يكون المعنى فيه إلا أدبر، لأنّ من المحال أن يقول: انجاب عنها ليلها وأظلم، وإنَّما ينجاب بالضوء ".ونقل أبو الطيب نفسه أن ابن عباس قال في قوله تعالى: (وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ) أي: أدبر، وقال غيره أظلم، وقال آخرون: أقبل. وذكر الطبري اختلاف المفسرين في هذه اللفظة، فقال بعضهم: عسعس الليل: أدبر، وقال آخرون: معناها: أقبل بظلامه، وروى رواياتٍ عدة عن ابن عباس: أن معناها أدبر وقال مجاهد: (إذا عسعس) يعني: إذا أدبر وفي رواية عنه نقلها الطبري تردد كلامه بين المعنيين، فقال يعني: إقباله، ويقال: إدباره( وهذا يدل على إحساسه بأنّ هذه اللفظة تحتمل هاتين الدلالتين المتضادتين معاً. لكنه عاد إلى ترجيح إحداهما وهي الإدبار كما جاء في تفسيره.
وقد رَجّح الطبري هذا المعنى أيضاً بقرينة من السياق هي قوله بعد تلك الآية مباشرة: (وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ)، وتَنَفُّسُ الصبحِ إقباله، وهو إيذان بإدبارِ الليل، حيث قال: " وأولى التأويلين في ذلك بالصواب عندي قول من قال معنى ذلك: إذا أدبر. وذلك لقوله: (وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ) فدلَّ بذلك على أنّ القَسَمَ بالليل مدبراً وبالنهار مقبلاً. والعرب تقول: عسعس الليل وسَعْسَعَ الليل إذا أدبر ولم يبق منه إلا اليسير، ومن ذلك قول رؤبة بن العجاج:
يا هندُ ما أسرعَ ما تَسَعْسَعَا # ولو رَجا تَبْعَ الصِّبا تَتَّبعا
هذه لغة من قال: سعسع.." وقال الفراء: " اجتمع المفسرون على أن معنى (عسعسَ): أدبرَ، وكان بعض أصحابنا يزعم أن عسعس: دنا من أوله وأظلم.." والذي يبدو أنّ المعنى الراجح لهذه اللفظة في هذا الموضع الوحيد من القرآن الكريم هو: (أدبر)، لاجتماع القرائن اللفظية على ذلك. أما اختلاف أقوال المفسرين بين دلالتين متعارضتين لها فهو يؤكد أنها من ألفاظ الأضداد حقاً.
10- عفا: وذكر أهل اللغة أن (عفا) من ألفاظ الأضداد، وأنه يقال: عفا الشيء إذا دَرَسَ، وعفا إذا كثر، قال الأصمعي: «ومنه قول الله جلّ ثناؤه: ( حَتَّى عَفَوْا ) ، معناه: حتى كثروا، ويقال: قد عفا شعره إذا كثر، وعفا ظهر البعير إذا سمن وكثر لحمه..».
وقال ابن عباس في تأويل الآية المذكورة (حَتَّى عَفَوْا): " حتى كثروا وكثرت أموالهم ". وقال مجاهد: أي كثرت أموالهم وأولادهم وعلى هذا أكثر المفسرين.
والذي يبدو أن هذا اللفظ (عفا) قد أصابه نوع من التطور الدلالي وهو النقل المجازي للمشابهة، وأنه في أصله يدل على كثرة النبات والشعر، ثم استعير للدلالة على الغنى والكثرة في بني الإنسان. قال الزمخشري في تفسير الآية المذكورة: (حَتَّى عَفَوْا) أي: " كثروا ونموا في أنفسهم وأموالهم، من قولهم: عفا النبات وعفا الشحم والوبر، إذا كثرت ومنه قوله (ص): ((وأَعْفوا اللِّحَى))".
وإذا صح هذا المعنى فإنه يمكننا القول: إن عَدَّ هذا اللفظ من الأضداد فيه شيء من التجوز والتوسيع لمفهوم التضاد، لأنَّ الغنى والكثرة يضاده في المعنى الفقر والقلة ولا يضاده انمحاء الأثر ودروسه كما ذهب إلى ذلك مصنفو كتب الأضداد. وعلى ذلك فإنّه ينبغي إعادة النظر في معظم الألفاظ التي قيل إنها من الأضداد.
وقد ذكر بعض الدارسين المحدثين أن هناك جملةً من الأسباب التي دفعت علماء اللغة الأقدمين إلى التوسع في هذا الموضوع حتى أدخلوا في الأضداد ألفاظاً كثيرة لم تكن تشتمل على طبيعة الأضداد، وعَدّ منها ما يقرب من مئة وخمسين مادة لغوية حفلت بها كتب الأضداد وهي لا تحمل التضاد الدلالي إلا بضرب من التأوّل البعيد.
11- فاز: أي نجا، ومنه (المفازة) قال الأصمعي: " وسموا المفازة مفعلة من فاز يفوز إذا نجا، وهي مهلكة، قال الله جلّ ثناؤه: ( فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ العَذَابِ ) أي بمنجاة، وأصلُ المفازة مهلكة فتفاءلوا بالسلامة والفوز، كقولهم للملدوغ سليم، والسليم المعافى.
وقال ابن الأعرابي: أخطأ الأصمعي، إنّما سميت مفازةً لأنَّ من قَطَعها فاز ويبدو أن هذا هو الصحيح. وقد قال المفسرون أيضاً: إنَّ معنى الآية المذكورة: فلا تظننّهم بمنجاة من العذاب أي: لا تحسبنّهم بمكانٍ بعيد من العذاب، لأنّ الفوز التباعد عن المكروه. ولم يرد في هذه اللفظة قول لابن عباس أو مجاهد. علماً بأنها لم تأت بهذه الصيغة في القرآن الكريم إلا في هذا الموضع.
الفصل الثالث : التصورات التربوية الإسلامية
البحث الأول : العوامل الهامة فى التصورات التربوية الإسلامية
أ- أهمية الأهداف التربوية :
تمثل الأهداف الخطوة الأولى التي تعكس الفلسفات و نظم الحياة و الأوضاع الاجتماعية و المشكلات و التحديات و الطموحات في أي من المجتمعات ، كما تأخذ بعين الاعتبار مطالب المجتمع و ما يناسبه من اتجاهات تربوية معاصرة ، تنعكس الأهداف على أسس بناء المناهج و المقررات و الكتب و الطرق و الوسائل و جميع مكونات العملية التربوية التي تستهدف بناء الفرد و المجتمع و يعتبر تحديد الأهداف التربوية الترجمة العلمية للفلسفة التربوية التي تسود المجتمع ،إذ بواسطتها تتحول المفاهيم و التصورات و الآمال التي تهدف الأمة على اختلاف أفرادها و هيئاتها إلى تحقيقها في المجال التربوي إلى أهداف محددة المعالم يلتزم النظام التعليمي بتحقيقها (2) .
كما أن الدقة في اختيار الأهداف التربوية و تحديدها أمر له أهميته لأنه يترتب عليه بناء المناهج المناسبة و أوجه النشاط التعليمي و اختيار الكتب المدرسية و التخطيط لطرق التدريس التي تحقق الأهداف و من ثم تقوم العملية التربوية بمجموعها ،كما يمكن اعتبار الأهداف التربوية في معظمها محصلة للواقع الاجتماعي بأبعاده المتعددة .
الأهداف العامة للتربية :
أولا : الأهداف التي تتصل بطبيعة المجتمع :
الايمان بمبادئ الدين الإسلامي ،بحيث تصبح هذه المبادئ منهجا فكريا وأسلوب حياة يتجسد في سلوك الفرد و علاقاته الاجتماعية .
التعريف بالتراث العربي الإسلامي و العادات و التقاليد الاجتماعية فيه و العمل على دعمها .
التعريف على تاريخ و تطوير المجتمع الكويتي و تراثه و ما تتميز به حياته الاجتماعية .
تنمية الشعور لدى الأفراد بالانتماء و الاعتزاز بوطنهم الكويت ،و بالوطن العربي و العالم الإسلامي.
تقوية روابط التضامن و الاخاء وروح الاسرة الواحدة بين أبناء الوطن ،و التخلص من أي تعصب يرجع إلى المذهبية أو الاقليمية أو القبلية أو الطبقية .
إعداد الأفراد للحياة الفعالة في مجتمع يقوم على الشورى و الديمقراطية و تأكيد حرية الفرد و كرامته و الاهتمام بالأمور العامة و الاستقلال في رأي الجماعة ،وممارسة مهارات العمل الجماعي.
إعداد أفراد يعرفون مالهم من حقوق و ما عليهم من واجبات .
ثانيا :الأهداف التي تتصل بطبيعة العصر :
الاهتمام بدراسة المجالات العلمية الحديثة ،و تطبيقاتها بما يجعل الأفراد قادرين على تمثل مظاهر التقدم العلمي من حولهم . و الافادة بما تقدمه التقنية الحديثة من أجهزة و أدوات .
تنمية وعي المواطنين لحماية أنفسهم من آثار الدعاية التي تحاول أحيانا اخضاع الشعوب و الأفراد لمصالح خاصة .
تأكيد الربطة بين النظرية و التطبيق ، و بين العلم و العمل .
توفير الأساليب التي تساعد على سرعة تكيف الأفراد للتغيير الاجتماعي السريع ، و الإسهام فيه.
العناية بحفظ التوازن بين القيم الروحية و القيم المادية .
تحقيق كل من العمق و الشمول في اعداد الأفراد للحياة .
ثالثا:الأهداف التي ترتبط بمطالب نمو المتعلمين و خصائصهم :
مساعدة الأفراد على النمو الروحي السليم ، وتهذيب سلوكهم بالتحلي بالأخلاق التي يدعو لها الدين الاسلامي .
مساعدة الأفراد على النمو العقلي السليم .
مساعدة الأفراد على النموالجسمي السليم .
تهيئة الفرص للأفراد بما يوفر لهم النضح الانفعالي السليم .
تنمية التذوق الجمالي و التعبير الفني ، بحيث يستشعر الأفراد مظاهر الجمال فيما حولهم ، ويستمتعون بها و يعبرون عنها .
إعداد الأفراد لحياة أسرية ناجحة ،و لمواجهة المشكلات السكانية .
الاهتمام بالتربية المهنية ، و ما تقتضيه من توجيه دراسي و مهني .
تنمية قدرة الأفراد على التفكير بأسلوب علمي ،و العمل بما يتضمنه من دقة الملاحظة ،و الاستقصاء ،وعدم التعصب ،و الاستناد في الرأي إلى الدليل المقنع و البرهان القاطع .
تنمية قدرة الأفراد على الإبداع و الابتكار و التجديد .
تنمية مستويات الطموح لدى الأفراد و تهيئة الفرص أمامهم للوصول إلى أقصى ما تسمح به قدراتهم ومواهبهم بما يحقق الخير لهم و للمجتمع .
رعاية الموهوبين و المتفوقين في جميع المجالات لإعداد القيادات القادرة على دفع عجلة التقدم في المجتمع
رعاية المتخلفين و المعوقين واعداد البرامج الملائمة لمواجهة احتياجاتهم و حل مشكلاتهم و تحويلهم إلى قوة فعالة تسهم في بناء الوطن .
تنشئة أجيال قادرة على تحمل المسئولية في شتى صورها و نواحيها ، وتشجيع الأفراد على المبادرة و اتخاذ القرارات بأنفسهم ، والتخطيط لمستقبلهم ،و الاعتماد على جهودهم و نتائج أعمالهم .
تهيئة الفرص لإعداد أفراد قادرين على تحمل مسئولية التغيير و التطوير و رفض كل مظاهر التخلف و الجمود.
الوفاء بحاجات المجتمع الكويتي من القوى البشرية المؤهلة اللازمة لمتطلبات التنمية في مختلف القطاعات
اعداد الأفراد للعمل ،و ما يرتبط بذلك من اتجاهات نحو تقدير العمل و العاملين .
إسهام الأفراد بالوقت و الجهد و المال من أجل خدمة الجماعة و العمل على تقديمها .
(التعرف على امكانات الوطن العربي و طاقاته المادية و البشرية كخطوة في سبيل تحقيق التكامل و التعاون و التكامل بين أرجاء الوطن العربي .
إعداد الأفراد للتعامل الناجح مع الآخرين في مجتمعهم .
مساعدة الأفراد على حل مشكلاتهم الشخصية و الاجتماعية ، ومشكلات العمل ووقت الفراغو غيرها .
رابعا : الأهداف المرتبطة بالاتجاهات التربوية المعاصرة :
-تحقيق ايجابية الفرد و نشاطه .
-تنمية القدرة على ممارسة التعلم الذاتي .
-مساعدة الأفراد على ممارسة التعلم المستمر مدى الحياة .
-الانتفاع بالتقنيات الحديثة في مجال التعلم .
وباستعراض الأهداف المشتقة من الاتجاهات التربوية المعاصرة يمكن القول إن أهداف التربية قد تطورت وفقا للفلسفات التربوية ونظرتها إلى الإنسان من حيث طبيعة نموه و إمكاناته و قدرته على التعلم و قد تم تحقيق إنجازات كبيرة بفضل جهود فلاسفة التربية و البحث التربوي واستخدام التكنولوجيا التربوية ، و حتى تستكمل هذه الأهداف لجميع أهداف التربية المشتقة من المنجزات التربوية الحديثة فلابد من ربط التعليم ببيئة الإنسان و حياته و تحقيق التوازن بين الخبرات المباشرة و غير المباشرة وما يقتضيه ذلك من اهتمام بالجوانب العلمية و التطبيقية و مراعاة الشمولية لجوانب الخبرة والاهتمام بالتوجيه التربوي و المهني و قيامه على أسس علمية سليمة .
شروط الأهداف التربوية :-
أوضح "ويزلي " (wesley) ، و " و رونسكي " ( wronski) أنه لابد أن يتوافر للأهداف التربوية ما يلي :
(1) أن يوافق عليها المجتمع .
(2) أن تكون قابلة للتحقيق تربويا و دراسيا .
(3) أن تعمل على تنمية قدرات المتعلمين .
مستويات الأهداف التربوية (1) :-
يمكن تصنيفها إلى 3 مستويات :




المستوى العام المستوى المتوسط
المستوى الخاص
الغايات التربوية المقاصد و المرامى التعليمية الأهداف الدراسية
Educational Aims Educational Goals Educational Obj
أهداف المستوى العام Aims :-
تتميز بما يلي :
1-شديد العمومية .
2-الشمول .
3-التجريد .
وتشتق من عدة مصادر أهمها :
1-طبيعة المجتمع و ثقافته .
2-طبيعة العصر .
3-الاتجاهات التربوية المعاصرة .
4-مطالب نمو المتعلمين .
أهداف المستوى المتوسط Goals :-
تتميز بما يلى :
1-أقل عمومية .
2-تحدد من قبل راسمي السياسات التعليمية و تتدرج في عدة مستويات فرعية
المستويات الفرعية للأهداف التربوية العامة


الأهداف العامة للنظام التعليمي .



الأهداف العامة لمراحل التعليم (رياض الأطفال- ابتدائي - متوسط - ثانوي )



الأهداف العامة للصفوف الدراسية


الأهداف العامة للمقررات و المناهج
أهداف المستوى الخاص :
و هي الأهداف الدراسية Instructional Objectives
و تمثل أهداف منظومة التدريس لمقرر دراسي أو وحدة دراسية أو درس واحد .
و تنقسم إلى ثلاث مستويات هي :
1-أهداف المقرر .
2-أهداف الوحدة الدراسية .
3-أهداف الدرس (أهداف سلوكية ) .
ب- خصائص قيم التربية الإسلامية .
مما يميز قيم التربية الإسلامية عن غيرها من القيم معرفة خصائصها والتي بمعرفتها يزداد المرء ثقة وقناعة بكونها حلا لمشاكل البشرية ووسيلة لإسعادهم في الدارين .وفيما يلي عرض لأهم تلك الخصائص:
أولا. الربانية : وهي من أعظم مزايا القيم الإسلامية على الإطلاق ، وذلك أن الوحي الإلهي هو الذي وضع أصل لها وحدد معالمها ، قال تعالى { تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ } ، ( المانع ، 1426 ، 152 ) . والقيم الإسلامية ربانية المصدر و المنهج والغاية والهدف : - فهي ربانية المصدر : باعتبارها جزء من حيث يقول الحق عز وجل { وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًىوَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ } . – وهي ربانية المنهج : وفي ذلك يقول تعالى {قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي } . وهي كذلك ربانية الهدف والغاية : حيث بصرف التربية الإسلامية إلى غاية عظمى وهي مرضاة الله عز وجل قال تعالى{وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ } ( خباط ، 2004 ، 62-63 ) ويترتب على أن القيم من عند الله تعالى عدة اعتبارات منها :
1-أن القيم تتسم بالعدل : فالعدل في الإسلام مطلق وبعيد عن أهواء البشر ، قال تعالى { إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا}
2- أن القيم تتصف بالقدسية : تُحترم وتلتزم القيم في الإسلام لأنها تقوم على الإيمان . ( د. سامية عبدالرحمن ـــ القيم الأخلاقية ص ( 39 ).

د- ارتباط القيم بالجزاء الدنيوي والأخروي :
فالتزام شرائع الإسلام وقيمه مرتبط بالترغيب والترهيب وبالوعد والوعيد قال تعالى : { وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقًا} . - ثاني السمات: الوضوح : ويدل على ذلك وصف القرآن وهو مصدرها الأول بأنه كتاب مبين ونور وهدى للناس ، وتبيان ، والفرقان والبرهان ، وما ذلك إلا لوضوحه قال تعالى { قَدْ جَاءكُم مِّنَ اللّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ}
ثانيا .الوسطية : وذلك بالجمع بين الشئ ومقابله ، بلا غلو ولا تفريط ، فمن ذلك التوازن بين الدنيا والآخرة ، قال تعالى { وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ } . ومن ذلك الوسطية والتوسط في الإنفاق والعاطفة وتوفية مطلب الجسد والروح . قال تعالى{ وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَاكُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا }
ثالثاً : الواقعية : قال تعالى { لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا } . فالقيم الإسلامية واقعية يمكن تطبيقها لا تكليف فيها بما لا يطاق ، ولا تغرق في المثالية التي تقعد بالناس عن الامتثال ، فالعبادات واقعية ، والأخلاق واقعية ، والقيم كذلك واقعية راعت الطاقة المحدودة للناس فاعترفت بالضعف البشري وبالدافع البشري ، والحاجات المادية ،وبالحاجات النفسية . ( القرني ، 1426 ، 136 ) .ويضرب الدكتور خالد رضا الصمدي على ذلك مثالا فيقول: " فالعدل على سبيل المثال قيمة إسلامية راسخة ، ولكن تحقيقه في الواقع مدافعة للظلم بقدر الاستطاعة ، ولذلك كان رسول الله يقول : « إنما أنا بشر ، وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض ؛ فأحسب أنه صدق ؛ فأقضي له بذلك !فمن قضيت له بحق مسلم ؛ فإنما هي قطعة من نار ! فليأخذها أو ليتركها ! » رواه البخاري في كتاب المظالم والغصب . والحب قيمة إسلامية عظمى ، ولكن رسول الله صلى الله عليه وسلم في العدل بين زوجاته في هذا الجانب كان يقول : « اللهم ! هذه قسمتي في ما أملك ؛ فلا تلمني فيما لا أملك » رواه الترمذي في كتاب النكاح ، يعني الميل العاطفي .
رابعاً: العالمية والإنسانية: فقيم الإسلام التي تضمنتها رسالة الأنبياء والرسل كافة وختمها محمد صلى الله عليه وسلم ؛ ليست للمسلمين بخصوصهم وإنما هي منفتحة على سائر الأمم والشعوب ، ينهلون منها فتقوّم سلوكاتهم ، وتعدل من اتجاهاتهم ، فتكون هذه العالمية مدخلاً إلى الإسلام عند كثير من الأمم والشعوب والأفراد .وقد أخذ محمد صلى الله عليه وسلم بهذه القيم العالمية وجاء ليتممها ، فقال صلى الله عليه وسلم : « إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق .
خامساً: قيامها على أساس الشمول والتكامل : أ- الشمول : ( فهي لم تدع جانباً من جوانب الحياة الإنسانية بجميع مجالاتها روحية كانت أوجسمية ،دينية أو دنيوية ، القلبية أو عاطفية ، فردية أو جماعية إلا رسمت له الطريق الأمثل للسلوك الرفيع ، فللفكر قيم ، وللاعتقاد قيم ، وللنفس قيم ، وللسلوك الظاهر قيم ) . ( وصفة الشمول جعلت القيم ذات امتداد أفقي واسع ، شمل التصور الاعتقادي والمنهج التشريعي والسلوك الاجتماعي )).( المانع ، 156 ، 157 ) ولقد أفرد ، د/ علي خليل أبو العينين ملحقاً لكتابة القيم الإسلامية والتربية وعنون له ب ( نسق القيم الإسلامية من القرآن والسنة ) ، اشتمل على: ( القيم الروحية 21 قيمة ) ( القيم الخلقية 33 قيمة ) ( القيم العلمية والمعرفية21 قيمة ) ( القيم الاجتماعية 97 قيمة ) ( القيم الوجدانية 12 قيمة ) ( القيم المادية 11 قيمة ) القيمة الجمالية 10 قيم ) . (أبو العينين ، 1408 ،207 إلى 320 ) ب- التكامل : تتمثل نظرة التربية الإسلامية في الغاية والهدف تمثلها في الوسيلة ،فالإحسان للآخرين وأن يحب الإنسان لأخيه ما يحب لنفسه جزء مكمل للعبادة ، كما أن التفكر في ملكوت السموات والأرض وآيات الله في الكون جزء مكمل للعبادة. والتربية الإسلامية لا تقتصر على الأسلوب النظري ، بل لا بد أن يكون هناك الجانب التطبيقي ،كما أن التربية الإسلامية إضافة لاهتمامها بالفرد كوحدة واحدة فهي لا تفصله عن محيطه الاجتماعي، بل وتهتم به كجزء من المجتمع الذي يعيش فيه ، (خياط ، 1424 ، ( 77 -78 ) ،مما يرسم في نهاية المطاف لوحة بديعة التنسيق تجمع للمسلم بين خيري الدنيا والآخرة.
سادسا: الثبات والاستمرارية: وتستمد القيم الإسلامية استمراريتها من صلاحية مصادرها لكل زمان ومكان ،قال تعالى : { وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ } . ومن مظاهر الاستمرار في القيم الإسلامية تكرر حدوثها في سلوكيات الناس حتى تستقر ، قال صلى الله عليه وسلم : « لا يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صدّيقاً ، رواه الإمام أحمد في مسنده . فالصدّيق لا يطلب منه أن يصدق مرة ويكذب مرات ، وإنما المطلوب أن يستمر هذا السلوك في تصرفاته طول حياته حتى يستحق هذا اللقب . يقول الدكتور أحمد مهدي عبد الحليم : « ومن الخصائص الأساسية في القيمة تكرار حدوثها بصفة مستمرة ، فمن يصدق مرة أو مرات لا يوصف بأنه فاضل في سلوكه ، وإنما تتأكد القيمة وتبرز الفضيلة الخلقية في سلوك الإنسان إذا تكرر حدوثها بصورة تجعلها عادة مستحكمة أو جزءاً من النسيج العقلي والسلوكي لصاحبها وعنواناً لهويته » ( عبد الحليم 65 ،66 ، 1992م.
سابعا : الإيجابية : والمقصود بها أن يتعدى الخير للآخرين فلا يكفي كون الإنسان صالحاً في نفسه بل يكون صالحاً ومصلحاً ، يتفاعل مع المجتمع وينشر الخير ، ويعلم الجاهل ، ويرشد الضال وتأتي هذه الإيجابية للقيم من إيجابية الإسلام نفسه فهو دين إيجابي مؤثر ليس من طبيعته الانكماش والانعزال والسلبية . ( المانع ، 1425 ،160 ) ويقول الدكتور محمد جميل خياط : "فالتربية تحرك الجانب الايجابي الفطري في الإنسان ،وتهذب وتصقل الاتجاهات أو الجوانب السلبية لديه أو تحولها إلى قوة موجبة تعمل على إعمار الأرض أي أنها تعمل على غرس الأخلاق والسلوك الفاضل ( خياط ، 1424 ،ص75 .
ثامنا : التكيف والمرونة: ذلكم أن القيم الإسلامية قابلة للتحقق في المجتمع بمختلف الوسائل والطرق ،وتتكيف مع مختلف الأحوال والأزمان والأمصار دون أن يؤثر ذلك في جوهرها ،فالعدل يتحقق في المجتمع عبر مؤسسات مختلفة قد تخلقها الدولة بحسب حاجتها وعلى قدر إمكاناتها ؛ المهم أن يتحقق العدل ، وقد يتحقق في مختلف مظاهر الحياة العامة داخل الأسرة وفي الأسواق وفي المنظمات والهيئات وغير ذلك بصور شتى وبوسائل مختلفة ، والأصل في ذلك قوله تعالى { وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَاقُرْبَى } ) . ولذلك لم تضع التربية الإسلامية لقيمها قوالب منظمة جاهزة لا بد أن تفرغ فيها ، وإنما أمرت بضرورة تحقق الجوهر بأشكال مختلفة تستجيب لحاجات الزمان والمكان والأحوال . فأمرت بتحقيق الشورى في المجتمع ولم تحدد الكيفية والوسيلة ، وأمرت بأداء الأمانات إلى أهلها مطلق الأمانات بعد حفظها ولم تحدد وسائل الحفظ ؛لأنها متغيرة ، وأمرت بالتكافل الاجتماعي ، وتركت طرق تحقيقه مفتوحة على اجتهادات المقدمين عليه ، وأمرت بالإنفاق في سبيل الله ؛ مطلق سبيل الله ليعم الخير كلَّ مناحي الحياة ، ويغطي حاجات الناس المتجددة . ومن مظاهر التكيف في القيم الإسلامية ؛ قابليتها للتداول بكل أنواع الخطاب من : الوعظ الإرشاد إلى الخطابة ، فالكتابة والنشر ، إلى الوسائل السمعية البصرية إلى التقنيات الحديثة للتواصل من إعلاميات وإنترنت وغيرها ، ومعلوم أن كل خطاب يحمل قيمة من القيم . والقيم لإسلامية أولى أن تحملها وسائل التواصل هذه ؛إذ ينبغي أن تحمل إلى كل أهل عصر بما ساد عندهم من وسائل ، حتى تكون قادرة على التأثير في سلوكياتهم والتعديل من اتجاهاتهم وتشكيل تصوراتهم . ومن مظاهر التكيف أيضاً قدرة هذه القيم على الاستجابة لحالة متلقيها العمرية والنفسية والوجدانية والعقلية ، فلكل أسلوبه وطريقه ومنهجه ، فالمربون الناقلون للقيم الإسلامية لهم قدرات وطاقات ، والمتعلمون لهم قدرات وطاقات أيضاً ؛ ولهذا لم يكن للنظرية التربوية الإسلامية الحاملة للقيم خطاب واحد ، وإنما يتنوع خطابها بفعل مرونته ويتكيف مع مختلف الحالات ، فما أنتجه العلماء في أدب العالم والمتعلم يختلف من سياسة الصبيان إلى سياسة الغلمان ، فسياسة من قوي عوده وعزم على طول الرحلة والطلب والتفرغ للعلم تختلف عن غيرهم وهكذا . - الكاتب: أ / عصام شريفي . - مكتب غراس للاستشارات التربوية والتعليمية .
من هذا المفهوم نقول إن التربية الإسلامية جمعت" بين تأديب النفس وتصفية الروح وتثقيف العقل وتقوية الجسم. فهي تعنى بالتربية الدينية والخلقية والعلمية والجسمية دون تضحية بأي نوع منها على حساب الآخر". وفي هذا يتضح أن التربية الإسلامية قد وازنت بين حاجات المتعلم الروحية والمادية والاجتماعية. فالفهم الإسلامي لهدف التربية هو إعداد الفرد ليكون نافعاً في مجتمعه ونفسه وسعيداً في الدنيا والآخرة . فالأهداف العامة للتربيةالإسلامية " تتصف بأمرين: الأول أنها تبدأ بالفرد وتنتهي بالمجتمع الإنساني عامة، والثاني أنها تبدأ بالدنيا وتنتهي بالآخرة بأسلوب متكامل متناسق"4" ففي الأمر الأول، الهدف، هو إعدادا لفردالمسلم فالتعليم يأخذ بيد الفرد في طريق التقدم، وفي نهاية الأمر يهيئ الفرد نفسه للحياة الاجتماعية السعيدة. الأمر الثاني، فأهدافه هي تنمية وترسيخ العقيدة الإسلامية عند الفرد المسلم وتحيقق العبودية لله تعالى وتزكية نفسه وتهذيب الأخلاق والطباع".
كذا فإن الإسلام قد وضع لنا عناصر للمناهج في المؤسسات التعليمية تمثل حجر الزاوية في العملية التعليمية. وقد تطرقت هذه العناصر لجميع التغيرات المتوقع حدوثها في كل جوانب النمو في الفرد المسلم. ونجد أن الإسلام اعتبر أن خطوة وضع الأهداف بصورة سليمة حسب متطلباته يساعد على تصميم معيار مناسب لاختيار المحتوى والخبرات وطرق التدريس ووسائله والنجاح بعد ذلك في التقويم، وبذلك يصل الفرد المسلم المتعلم إلى هدف التربية الإسلامية ألا وهو سعادته في الدنيا والآخرة.
وفي عصرنا هذا فإن " المدارس والجامعات أصبحت غير قادرة على إعداد الشباب الناشئ للحياة في عالم سريع التحول والتغير، ولذلك فإن العمل المستمر الإضافي للتربية خارج النطاق المدرسي، يجب أن يكون متواصلاً في صورة نشاطات حية على جبهة عريضة واسعة في كل الممالك والبلاد وفي كل مستويات التطور"6. فالتربية الإسلامية تمتاز عن التربية الغربية الحديثة بالهدف البعيد الذي يحفظ للفرد المسلم سمو روحه وعزة نفسه ونشاط جسمه وسلامة نموه الفكري والعلمي والعقلي.فالهدف البعيد يرنو إلى العلاقة الاحتماعية بين أفراد المجتمع وبينهم وبين الخالق سبحانه وتعالى. وبالتالي يكون الهدف هو الراعي المسلم في جميع أجزاء تكوينه الجسمي والعقلي والروحي والخلقي وبالتالي السلوكي".
جـ- الغاية من التربية الإسلامية
هي تحقيق العبودية لرب العالمين، والتي هي الحكمة من خلق الإنسان، كما قال سبحانه وتعالى: ( وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ) ، وتتعلق بها نجاته، وسعادته الأبدية، كما قال سبحانه: ( قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا ) ، وقال تعالى: ( يَوْمَ يَأْتِ لاَ تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ، فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُواْ فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ، خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاء رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيد، وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُواْ فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ إِلاَّ مَا شَاء رَبُّكَ عَطَاء غَيْرَ مَجْذُوذٍ، وجميع الأهداف تندرج تحت هذه الغاية نظراً لاتساع مفهوم العبادة في الإسلام.
نستطيع أن نضع ثلاثة أهداف رئيسية للتربية الإسلامية:
الأول: بناء الإنسان المسلم ذي الشخصية المتكاملة، وذلك بتحقيق النمو الجسمي، والعقلي، والروحي، والأخلاقي، والاجتماعي.
الثاني: التنمية العلميّة، وذلك باكتشاف المواهب والقدرات، وتنميتها، وتعليمه العلوم المناسبة له، لا سيما العلوم الشرعية، وما يميل إليه من العلوم الأخرى المفيدة للأمة.
الثالث: إخراج الأمة المسلمة؛ المتناصرة، المتناصحة، المجاهدة، الحاملة رسالة الإسلام إلى العالم.
وقد ذكر بعض الباحثين أهدافاً تفصيلية كثيرة، وهي مندرجة تحت الأهداف الثلاثة، إما خادمة للشخصية المسلمة بجوانبها المختلفة، أو خادمة للنمو العلمي، أو للأمة المسلمة(5). وتهدف التربية في النهاية إلى الكمال الإنساني، قال الإمام البيضاوي في تفسيره: (الرب في الأصل مصدر بمعنى التربية وهي تبليغ الشيء إلى كماله. إنّ التربية عملية حركية حية، تتفاعل مع المتغيرات المختلفة، وتتأثر بها وتؤثر فيها. ومن مهامها أنها تكسب النشء القدرة على التكيّف مع تلك المتغيرات مع رسوخ الثوابت الإسلامية. ومنهج التربية الإسلامية فريد في كل مناهج الأرض، وإن التقى ببعضها في التفصيلات والفروع؛ فريد في شموله ويقظته لكل دقيقة من دقائق النفس البشرية، وكل خالجة، وكل فكرة، وكل شعور، وفريد في أثره في داخل النفس، وفي واقع الحياة، فقد كان من أثره تلك الأمة العجيبة في التاريخ؛ الأمة التي انتفضت من تراب الأرض فوصلت إلى السماء، والتي قامت من شتات متناثر يكاد لا يلتقي على غير الصراع والحرب، فإذا هي أمة صلبة متماسكة لا مثيل لها في الأرض، تفتح وتغزو، وتعمّر وتبني، وتقيم مُثُلاً أخلاقية وإنسانية غير معهودة من قبل، ولا من بعد، وتنتشر في سنوات قليلة؛ في رقاع الأرض، تنشر النور والهدى، وتنشئ الحياة بإذن ربها من جديد، هذه الأمة كلها من نتاج هذا المنهج؛ كلها بمادياتها ومعنوياتها، بمشاعرها وأفكارها، وسلوكها وأعمالها، أمة فريدة في التاريخ".
البحث الثاني : تصورات التربية فى القرآن
القرآن الكريم هو دستور الحياة وكتاب نور وعلم وهداية، ومنهج شامل وبيان لكل جوانب الحياة وما يحتاجه الانسان من معرفة تحدد له أطر العلاقة بربه ونفسه ومجتمعه، وهو كتاب تربية واعداد سماوي انطلاقا من الإيمان بالله الواحد الأحد رب العالمين، فالله تعالى هو رب العالمين, وكلمة الرب مشتقة من التربية وهي تحمل معاني العناية والرعاية والإصلاح والتأديب،وعليه فان الله الخالق تعالى ذكره هو المربي والمؤدب الإنسان من خلال الإنبياء والرسالات السماوية التي تضمنت أسمى وأرفع القيم الأخلاقية التي ترتقي بالإنسان وتجعله مؤهلا لمسؤولية خلافة الله في الأرض، والى هذا يشير رسول الله (ص) بقوله: "أدبني ربي فأحسن تأديبي". ورسول الله (ص) هو المربي الأول لهذه الأمة بالقرآن، فقد أشرف على تربية جيل من الناس فكان ذلك الجيل ظاهرة فريدة عجيبة لم يشهد التاريخ لها مثيلا حتى الآن، بحيث استطاع هذا الرجل العظيم أن يعيد بناء الإنسان العربي الجاهلي ويخرجه من ظلمات التصحر الفكري والعقائدي والأخلاقي والإجتماعي الى نور الايمان والمعرفة وسمو الخلق وسماحة الذات (هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ ) . وفي القرآن الكريم نجد أهداف التربية ومواضيعها السبعة وهي: التربية العقيدية، والتربية الخُلقية، والتربية الجسمية، والتربية العقلية، والتربية النفسية، والتربية الاجتماعية، والتربية الجنسية. وسوف نفرد بحثا مفصلا لكل موضوع من مواضيع التربية القرآنية وأهدافها ان شاء الله لاحقاوالشواهد القرآنية على أهداف التربية ومواضيعها كثيرة ولكن قبل استعراضها لا بد من الإشارة الى أمرين أساسيين:
الأمر الأول: العبادات وآثارها التربوية
الأمر الثاني: الأسلوب التربوي في القرآن الكريم
أولا : العبادات وآثارها التربوية:
مما لاشك فيه أن العبادات التي افترض الله على عباده تأديتها والتزامها لا تخلو من أهداف انطلاقا من حكمة الله المتعالية في التدبير والتشريع، وقد ننظر الى حكمة التشريع وغاياته والمصالح المرجوة منه من زوايا متعددة الا اننا قد نغفل أحيانا النظر الى الجانب التربوي الذي أراد الله تعالى تعزيزه من خلال العبادة أو التشريع، فلو أخذنا الصلاة على سبيل المثال وهي رأس العبادات وعامود الدين وقربان المؤمن ومعراج كل تقي، فقد ننظر اليها من زاوية معينة على انها عبادة يراد من خلالها التواصل مع الله واظهار الخضوع والعبودية له، ولكن لو تأملنا في حكمة هذا التشريع وأبعاده أكثر لوجدنا أن الصلاة هي عبادة تربوية بامتياز، فهي:
أولا، شكر لله تعالى على نعمه الجليلة، والشكر هو سلوك تربوي ايجابي تتبناه الفطرة السليمة ويفرضه العقل ويستحسنه العرف {وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ}
وثانيا، تهذيب للنفس وتطويع لها على طاعة الله والابتعاد عن المعاصي والموبقات الأخلاقية {اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ}
وهي ثالثا: سمة الصلحاء والأتقياء الموصوفين بالخلق العالي والسمعة الطيبة والأفعال الحميدة {وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَاماً وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَاماً}
وهكذا بالنسبة لعبادة ثانية وهي الصوم الذي بين الله تعالى الغاية والهدف منه بقوله {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} ، فالصوم عبادة روحية تربوية تهذيبية ليس المراد منها صيام البطون عن الطعام -وان كان للجسد نصيبه من فوائد الصوم (صوموا تصحوا)– وإنما المطلوب صيام الجوارح عن الحرام والى هذا الهدف تشير الأحاديث الشريفة الواردة عن النبي الأكرم (ص) والأئمة الهداة (ع) فعن الامام الصادق (ع): "ان الصيام ليس من الطعام والشراب وحدهما فإذا صمتم فاحفظوا ألسنتكم عن الكذب،وغضوا أبصاركم عما حرم الله عليكم، ولا تنازعوا، ولا تحاسدوا،ولا تغتابوا،ولا تماروا، ولا تخالفوا، ولا تسابوا، ولا تشاتموا، ولا تظلموا، ولا تسافهوا،ولا تضاجروا، ولا تغفلوا عن ذكر الله ".
وقد أشار النبي الكريم في خطبة استقبال شهر رمضان وفضله الى العديد من المضامين التربوية التي لا بد أن تصاحب الصوم والتي تستهدف الفرد والمجتمع على حد سواء فقد اعتبر (ص) أن عبادة الصوم لا بد أن تكون منطلقا لحسن الخلق " من حسن منكم في هذا الشهر خلقه كان له جواز على الصراط يوم تزل فيه الأقدام "، ومنطلقا للإلتفات الى الناس بالمحبة والخير " وتصدقوا على فقرائكم ومساكينكم ووقروا كباركم وارحموا صغاركم وصلوا أرحامكم ". الى غير ذلك من الأبعاد التربوية التي تحفل بها عبادة الصوم.
واذا أخذنا عبادة الحج أيضا وحاولنا أن ندرس أبعادها التربوية فإننا نجد أنها تستهدف الشخصية الإنسانية وتتعاهدها بالتربية انطلاقا من كون الحج محطة للرجوع الى الله ومراجعة الذات، فالمناسك الواجبة في الحج بدءا بالإحرام فالطواف ثم السعي والرجم وغيرها تريد للإنسان المسلم أن يخرج من كل ولاء أو تبعية لغير الله تعالى وأن يطوف داعيا ملبيا نداء الفطرة نداء التوحيد، ثم تريد له أن يخرج من كبريائه وعلوه وأن يتواضع لله ثم للناس الذين تجمعه بهم وحدة الخلق ان لم نقل وحدة الدين، وتريد له هذه العبادة العظيمة أن يرجم شيطان نفسه ويتبرأ من كل الشياطين اينما وجدوا وحلوا!..{الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ} .
ثانيا: الأسلوب التربوي في القرآن الكريم:
نجد في القرآن الكريم الأساليب التربوية الكثيرة والمتعددة الأنماط والأشكال والتي تراعي أحوال الفئات المستهدفة وامكانياتهم وقدراتهم العلمية والإستيعابية نذكر منها:
1. التربية بالترغيب: {وَبَشِّرِ الَّذِين آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُواْ مِنْهَا مِن ثَمَرَةٍ رِّزْقاً قَالُواْ هَـذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ وَأُتُواْ بِهِ مُتَشَابِهاً وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
2. التربية بالترهيب: {قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَى رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَاباً نُّكْراً}
3. التربية بالترغيب والترهيب معا: {فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَيَزيدُهُم مِّن فَضْلِهِ وَأَمَّا الَّذِينَ اسْتَنكَفُواْ وَاسْتَكْبَرُواْ فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَاباً أَلُيماً وَلاَ يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ اللّهِ وَلِيّاً وَلاَ نَصِيراً}
4. التربية بالعقوبة الدنيوية: {إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ}
5. التربية بالعقوبة الأخروية: {إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً}
6. التربية بالقصة: {نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَـذَا الْقُرْآنَ وَإِن كُنتَ مِن قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ}
7. التربية بالمثل: {مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}
8. التربية بالجدل (الحوار): {وَقَالَ اللّهُ لاَ تَتَّخِذُواْ إِلـهَيْنِ اثْنَيْنِ إِنَّمَا هُوَ إِلهٌ وَاحِدٌ فَإيَّايَ فَارْهَبُونِ}
9. التربية بالموعظة: {إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}
10. التربية بالقدوة: {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً}
11. التربية بالعبادة: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
12. التربية بالأحداث: {فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِّثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ}
13. التربية بتدرج الأحكام: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ}
14. التربية بالملاحظة والنظر: {أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ}
15. التربية بالصحبة: {قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً}
16. التربية من خلال تغيير البيئة: {إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً}
..وغير ذلك من الوسائل التربوية.
ولا بد من الإشارة الى الأسلوب الوعظي الهادئ الذي يقدمه القرآن الكريم ويدعو الى امتثاله والأخذ به، وذلك عندما يحدثنا عن لقمان (ع) وتعاهده لولده بالوعظ والتربية{يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ، وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ} ،وبالعودة الى الشواهد القرآنية على المنهج التربوي في القرآن الكريم نستعرض مجموعة من الآيات القرآنية ونبين الهدف التربوي منها:
1. {وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً}
 الهدف التربوي: الوفاء بالعهود والالتزام بالمواعيد
2. {وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الحِسَابِ}
 الهدف التربوي: صلة الرحم التزاور والألفة بين الأقارب
3. {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ}
 الهدف التربوي: النهي عن سوء الظن والتجسس والغيبة
4. {يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ}
 الهدف التربوي: تتضمن هذه الآية هدفين تربويين الأول الاهتمام بالمظهر والنظافة البدنية الشخصية، والهدف الثاني الإعتدال في الأكل والشرب وتجنب الإسراف والتبذير
5. {وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً}
 الهدف التربوي: النهي عن شهادة الباطل والزور والإبتعاد عن مجالس اللغو والإثم.
6. {وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً}
 الهدف التربوي: بر الوالدين والإحسان اليهما وعدم الإساءة اليهما بالقول أو الفعل.
إلى غير ذلك من الآيات القرآنية الغنية بالفوائد والأهداف التي تريد للإنسان- شرط الأخذ بها- أن يسلك سبل الكمال في الدنيا ليصل الى مرتقى الفوز في الآخرة.
4- كا ما جاء في القرآن من تعبير ﴿ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ ﴾ وما شاكلها فمعناها من عاش في عصرهم ومن جاء بعدهم، والمقصود الحاضر والمستقبل. 3- أن القيم تنال ثقة المسلم : باعتبارها مستمدة من كتاب الله فإن ذلك يؤدي إلى شعور عميق بالثقة الكاملة بتلك القيم .( د. نادية شريف العمري ، ص : 20.